Rabu, 26 Agustus 2009

"KLAIM" MALAYSIA UNTUK TARI PENDET DAN NASIONALISME


Sebuah tulisan seorang sastrawan kita Romo Magun Wijaya, dalam bukunya Esei-Esei Orang Republik, selalu mengingatkan saya ketika menjelang tanggal 17 Agustus. Ada ekpresi sindiran kepada mereka yang suka tidak puas dengan semangat generasi muda kita. Bahkan secara keseluruhan rasanya nasionalisme menjadi perlu dipertanyakan. Dengan menggunakan ilustrasinya yang khas menyampaikan, pejuang dari generasi 45 yang terkenal keras dan pemberani, tidak gentar terhadap moncong meriam Belanda, Jeratan Kempetai Jepang, bisa menangis dan terharu ketika hanya melihat sebuah kain berwarna merah putih, pelan-pelan naik dikerek pada sebuah tiang bambu, diiringi dengan lagu Indonesia Raya. Tetapi pemandangan itu sangat sulit kita temukan pada kondisi yang berbeda dengan sekarang, anak-nanak di sekolah penuh dengan senda gurau, santai, ketika harus melakukan apel bendera. Kurang nasionalis, patriotis. Itu sama sekali bukan. Tetapi nisbi penghayatan mereka sudah berbeda terhadap nilai-nilai proklamasi. Kira-kira demikian isi tulisannya secara garis besarnya. Saya sependapat. Generasi muda sekarang lebih banyak dihadapkan dengan situasi kekinian ketika jaman Gitar Elektrik mulai nyaring yang tantangannya sangat jauh berbeda dengan generasi Angklung Bambo. Intonasi mungkin sama, teknik memainkannya sudah jauh berbeda.

Rasanya bukan sebuah kebetulan ketika nuansa atsmosper prorklamasi 17 Agustus baru beberapa hari kita kumandangkan, dalam apel resmi dari istana negara, sampai tingkat kecamatan, dan pelesok-pelosok Desa se Indonesia. Rasanya masih banyak kendaraan memberikan atribut bendera merah putih di jalan raya. Bahkan masih ada pedagang asongan menjanjakan beberapa supenir hiasan yang beraroma 17 Agustus tersebut. Pada saat seperti ini, Rupanya nasionalsime dan patriotisme kita sedang diuji. Hari sabtu detik.com menayangkan berita Tari Tenun Bali di kalim Malaysia. Lewat promosi pariwisatanya, Malaysia menggunakan tari tersebut seolah-olah tarian tersebut adalah milik mereka. Sepontan reaksi keras terjadi dari berbagai kalangan baik seniman, dan para politisi.


Reaksi jeles. Tentu saja. Gemana tidak ketika kita akan menyongsong 17 agustus untuk memperingati detik-detik proklamasi, ternyata sebaliknya Si Nurdin M Top warga Malyasia itu mempersiapkan bom bahkan sasarannya adalah istana Negara saat 17 Agustus. Untungnya digagalkan. Di face Book banyak dipergunjingkan, Nurdin M Top dan Azari datang dari Malaysia melakukan ulah dengan bom sasarannya orang asing. Bahkan di itu lakukan juga di Bali. Spontan kondisi wisata Bali menjadi sempat sepi. Sebaliknya Negaranya Si Nurdin M Top menggunakan atribut kebudayaan Indonesia (Bali) dan “mengklaimnya” untuk mengundang orang asing ke Negaranya Malaysia untuk berwisata. Maunya apa ini?

Reaksi lainnya; dari Politisi Taufiq Kiemas (Radar Bali, Senen 24 Agustus 2009) mengharapkan ada demo besar-besar ke kedutaan Malaysia di Jakarta. Reaksi lainnya dari organisasi kesenian Lampung marah, dan mengharapkan agar pemerintah menyikapinya.

Seniman Seperti I Gusti Ketut Sukahati dari Dalung, berpendapat, walaupun hanya sebuah tarian ini asset yang tiada nilai. Kita harus pertahankan jangan sampai menjadi hak milik bangsa lain. Tarianpun bukan hanya karya seni biasa yang bukan hanya sekedar untuk menghibur tetapi lebih daris ekedar itu bias bermakna sebagai upaya untuk mewujudkan bhakti terhadap Negara. Untuk ini saya pernah memilki pemngalaman, bagaimana dengan tarian saya ikut memberikan dorongan semangat ke beberapa daerah terpencil di Nusantara. Pada tahun 1954 pernah mewakili SGB sebagai penari putri Singaraja keliling Nusa Tenggara bersama Gubernur Sarimin, bertugas ke daerah-daerah waktu itu sebagai Gubernur Sunda Kecil. Bagaimana caranya agar persatuan NKRI ini dapat terwujud. Kemudian manari Ke Sumatra kira-kira tahun 1957-1959 bersama penabuh dari Gong Kusuma dari Banjar Tatag Sibang Gede. untuk memberikan dorongan semangat pada para pejuang dan Tentara Republik Indonesia yang bertugas memberantas gerombolan (kalau tidak salah gerombolan PRRI). Di Sawalunto Sumatera Barat para penari di serang dan ditembakin oleh gerombolan pemberontak . Semua rombongan akhirnya tiarap di parit-parit. Syukur semuanya selamat. Kemudian awal tahun 1960 menciptakan senam tari untuk memudahkan pengajaran tari Bali untuk anak-anak SD. Metode ini ternyata efektif. Dasarnya karena waktu itu gambelan masih langka untuk di tingkat sekolah dan sulit memperoleh alat elektronik seperti tape recorder. Tari Pendet sangat berjasa untuk meletakkan pondasi pada siswa anak-anak, sebelum belajar tari Bali lainnya. Kata Ibu yang telah berumur 70 tahun ini yang secara langsung pernah diasuh oleh Ibu Reneng dan Bapak Rindi. Kemudian Ibu Sukahati ini menciptakan metode senam untuk mempermudah belajar Tari Pendet. Karena tari ini untuk dasar sehingga mudah ditangkap anak-anak.


I Gusti Ayu Ketut Sukahati, Seniman Tari Bali. Umur 70 tahun. Specialis Tari Condong Klasik


Ternyata proses tari Pendet tidak sederhana. Wajar muncul reaksi atas sikap Malaysia tersebut. Kemungkinan besar berbagai komponen juga akan turun. Ini sebuah perkembangan yang menarik. Bukan bagaimana bentuk protesnya, tetapi makna dibalik kejadian ini. Yaitu Nasiolisme dan Patriotisme. Kita masih satu.

Tulisan ini termuat dari facebook untuk reaksi terhadap Malaysia


Senin, 20 Juli 2009

DALUNG DAN KOTA KABUPATEN BADUNG

Tiada masa kini tanpa restu masa lalu, dan tiada masa depan tanpa restu masa kini. Rupanya Orang Bali tidak mampu lepas dengan konsep mata rantai “kala” tersebut. Jika mau melompat ke depan mereka harus menarik ancang-ancang dari belakang. Hal ini pula sangat tercermin terjadi dengan penetapan nama kota Kabupaten Badung. Wilayah Kota tersebut adalah Mengwi, Gulingan, Mengwitani, Kapal, Lukluk, Sading, Sempidi, Abianbase dan Dalung.

Walaupun komunikasi ke Mengwi sempat tidak lancar, tetapi setelah tahun 1970-an, elite dynasty Dalung dengan Mengwi mulai kelihatan lebih baik. Pengelingsir Puri Mengwi mendem pedagingan di Pura Desa dan Puseh Dalung pada tahun 1970. kemudian pada tahun 2004 upacara ngenteg linggih kembali dilakukan di Pura Desa dan Puseh Dalung. Kembali pengelingsir puri Mengwi A.A Gede Agung mendem pedagingan. Bulan Mei 2006, pengelingsir Puri Mengwi, A A Agung Gede Agung medem pedagingan di Pura Dalem Tegal dalam acara ngenteg linggih. Pada bulan Oktober 2007 pengelingsir Puri Mengwi A A Gede Agung juga mendem pedagingan dan menanda tangani prasasti di Pura Dalem Sempua dalam upacara ngenteg linggih. Pada September 2008 kembali A A Agung Gede Agung melakukan mendem pedagingan di Pura Dalem Tibung Br Kaja Dalung dalam rangka upacara Ngenteg Linggih di pura tersebut.

Nampaknya jaman sudah mengarahkan, apa yang menjadi milik Mengwi pada masa lalu, akan kembali sebagai satu kesatuan. Salah satunya Dalung yang mengalami kekaburan mata rantai vertical pemerintahan masa sejarah Dalung, akhirnya tahun 2008 masuk dalam gabungan lingkaran Mengwi, walaupun dalam batas wilayah kota kabupaten. Sebenarnya berdasarkan fakta dan data dilapangan wilayah lokasi Pusat Pemerintahan Pemda Badung berada di wilayah Dalung. Tepatnya tanah yang dibebaskan tersebut adalah wilayah Subak Gaji, yang merupakan bagian dari wilayah Desa Dinas Dalung. Dalam sejarah sebagai wilayah panugraha I Gusti Agung Nyoman Alangkajeng (raja ke III Mengwi) kepada I Gusti Gede Meliling adalah sedauh Tukad Mati. Subak Gaji masuk di dalamnya. Oleh sebab itu Pusat Pemerintahan Pemda Badung ada di Dalung bukan di Sempidi. Tetapi pintu masuk ke Puspem dari wilayah Sempidi, menyeberang tukad Mati, seolah-olah Puspem tersebut di wilayah Sempidi.

Perekembangan selanjutnya adalah mengenai permasalahan nama kota. Para elite dynasty Mengwi, terutama Anak Agung Gede Agung lebih cenderung berdasarkan berbagai kajian. Dari hasil analisa berbagai sumber, kota kabupaten lebih tepat dinamakan dengan Mangupura yang berarti tempat yang indah menyejukan serta menawan hati selalu disinari oleh Ida Bhatara Luhur Puncak Mangu dan Luhur Uluwatu (Radar Bali: 7 Mei 2008). Walaupun masih dalam tahap usulan, nama kota tersebut menjadi pertimbangan pro kontra di anggota DPRD. Bahkan dalam sebuah harian (Koran) 13 Mei 2008 menyebutkan tokoh Puri Pemecutan A A N Putra Darmanugara mengusulkan Ibukota Badung adalah Badung. Bahkan dalam sebuah harian diberitakan usulan Bupati Badung tentang Mangupura sebagai ibu kota Kabupaten Badung, dengan tegas ditolak putra-putri Puri Agung Pemecutan. Para pewaris pendiri Kerajaan Badung ini melalui salah satu tokohnya Drs. AAN Putra Darmanuraga, menyatakan hal itu sebagai bentuk pemborosan sekaligus menunjukkan Bupati lupa akan sejarah. Tidak setuju dengan nama Mangupura, sebaliknya mengusulkan Bananapura. Jika diartikan secara harfiah, lanjut Darmanuraga, kata Mangupura dapat disamakan dengan Pura Pucak Mangu. Pada bagian ini, tidaklah etis bila kita menyamakan linggih Betara dengan linggih/rumah rakyat ataupun para pejabat pemerintahan. ''Kami mengusulkan nama Bandanapura. Ini sesuai dengan nama perintis Kerajaan Badung Ida Betara Lelangit Kyai Anglurah Bandana Badung. Kata ini juga berarti pengikat masyarakat dari berbagai unsur untuk mencapai suatu tujuan luhur (Bali Post, 13 Mei 2008). Anak Agung Gede Agung sebagai Bupati Badung, harus duduk bersama dengan Puri Pemecutan dalam menentukan nama Ibukota Badung (Radar Bali, 13 Mei 2008). Hal ini menunjukan, kuatnya kepentingan elite dynasty Badung terhadap eksistensi masa lalu.
Riak-riak konflik kepentingan masih membekas pada dua Puri tersebut. Tarik menarik kepentingan sejarah rupanya masih terjadi antara Badung dan Mengwi, seperti masa lalu yang mulai kelihatan abad 18-an. Istilah Mangupura sangat berkaitan dari nama lain Mengwi pada masa kejayaan kerajaan Mengwi. Hampir seluruh wilayah Kab Badung sekarang setelah pisah dengan kodya, merupakan wilayah kerajaan Mengwi. Oleh sebab itu munculnya istilah “Mangunpura” memberikan signyal kebangkitan Mengwi dengan penyatuan kembali wilayah yang pernah terpecah-pecah, terutama setelah kekalahan Mengwi terhadap Badung pada tahun 1891. Rupanya kondisi jaman mengarahkan Dalung yang merupakan wilayah kerajaan Mengwi pada masa lalu, yang lama terpental dari komunikasi induknya, mulai merapat kembali.

Seiring dengan berlangsungnya polemic nama Ibu Kota Kab Badung, yaitu Mangupura, pihak Puri Satriya (Puri Agung Denpasar), yaitu A.A. Bagus Suardika justru memandang sah-sah saja kalau A.A Gede Agung memberi nama Mangupura. Sikap kompremis Puri Agung Denpasar, memberikan gambaran usaha untuk menetralisir dampak sejarah Badung-Mengwi peristiwa 1891. Pihak Puri Agung Denpasar mengakui, bahwa perluasan kekuasaan Badung akibat pemberian Raja Mengwi, yaitu berupa Mas Kawin wilayah melalui perkawinan I Gusti Ayu Bongan (putri Raja Mengwi) dengan raja Badung Kiyai Anglurah Sakti Pemecutan. Luas wilayah itu meliputi wilayah dari Padangluah sampai ke Uluwatu, bahkan sampai ke Serangan. Ini merupakan ikatan sejarah antara Badung-Mengwi. Bahkan pada Pura Nambangan Badung dan Pura Pedarman Satria Denpasar terdapat pelinggih Ratu Istri Bongan. Dampak sejarah Badung-Mengwi akibat perang terbuka 1891 sudah terjadi perdamaian yaitu; adanya perkawinan yaitu Putra Raja Mengwi, I Gusti Ayu Sentak dengan keponakan Raja Denpasar I Gusti Ngurah Mayun (Radar Bali, 15 Mei 2008).

Nuansa sejarah masa lalu sangat sarat dalam pemberian nama kota Kabupaten Badung. Ada suatu kekawatiran tentang nama kota tersebut beraroma Mengwi sentries. Hal ini sah-sah saja karena Mengwi adalah pihak yang dianggap kalah perang pada tahun 1891 oleh Badung. Tetapi kalau dilihat dari kontribusi pembangunan wilayah yang menjadi kab. Badung sekarang pada jaman dahulu, nampaknya Mengwi lebih banyak mempersiapkan infrastruktur, seperti irigasi dan pertanian serta pengendalian perekonomian, walaupun akibat dinamika politik di kerajaan, membuat jalan roda pembangunan tersebut akhirnya mengalami gangguan. Puncak gangguan tersebut terjadi pada tahun 1891 akibat dari serangan Badung ke Mengwi berbentuk perang terbuka. Sebagai pihak pemenang para elite Badung lebih banyak disibukkan menduduki wilayah Mengwi, dengan cara aman, begitu pula dengan penguasaan sawah-sawah. Dan bagaimana menghadapi wabah bahaya penyakit kolera yang biasa terjadi akibat selesai perang. Tidak ada waktu untuk memikirkan mengembangkan pembangunan infrastruktur perekonomian yang digerakkan oleh roda agraris pertanian. Kemenangan Badung tidak membuat adanya perubahan. Bahkan tidak ada waktu untuk itu, karena terburu datangnya Belanda yang menyerang dari wilayah Timur (Sanur) pada tahun 1906, yang menyebabkan Badung mengalami kekalahan. Badung hanya menikmati kemenangan selama 15 (lima belas) tahun. Dan rentang waktu itu sangat sulit untuk dapat membangun suatu system yang mampu mensejahterakan masyarakat yang hidup dari pertanian.
Kemudian Pansus nama kota kabupaten Badung melakukan semiloka 25 Novemeber 2008 di Ruang Sidang DPRD Badung. Dihadiri oleh 317 orang dari unsur DPRD Badung, Pemkab Badung, mantan pejabat Badung, tokoh masyarakat, tokoh puri, Majelis Madya Desa Pekraman (MMDP) dan PHDI Badung, intelektual, tim ahli, generasi muda, wanita, bendesa adat dan kepala desa/lurah. Dari tujuh nama ibu kota yang diusulkan, ada dua nama yang mengerucut yakni Mangupura dan Badung. Namun hampir 99% dari peserta sepakat memilih nama Mangupura, sisanya memilih nama Badung. Nama-nama yang lain akan tetap dicatat dalam sejarah/historis nama Ibu Kota Kabupaten Badung.
Semenjak itu, polemik tentang kata Mangupura sebagai nama kota kabupaten Badung kemudian sepi. Tetapi ketika polemic tidak ada, entah apa motivasinya, seseorang sengaja membuat sebuah blog dengan judul Mangupura dot com, yang berisi gambar-gambar wanita cantik setengah bugil http://www.mangupura.blogspot.com/. Ada apa ini?

Tulisan ini diadopsi dari: Agung Teja Kusuma, Dari Padangluah ke Dalung, Edisi Evisi, hal 267-273.

Minggu, 19 Juli 2009

ANTARA MENGWI DAN BADUNG

Nama Saya Agung Teja. Saya lahir di Dalung 11 Juni 1967. Sebuah Desa yang kira-kira menurut perkiraan saya berdiri awal abad 18-an. Desa saya masih tergolong muda dibandingkan dengan Desa-Desa tetangganya, di Utaranya Desa Abianbase kecamatan Mengwi, Barat Desa Buduk Kecamatan Mengwi, Selatannya adalah Desa Tibubeneng kecamatan Kuta Utara, dan Sebelah timurnya adalah Desa Padangluih (dulu dikenal dengan Padangluah) kecamatan Kuta.



Diadopsi Dari : Sumber diadopsi dari Henk Schulte Nordholt: 2006:




Dilihat dari posisi geografis tersebut Dalung merupakan perbatasan antara Kecamatan Mengwi dan Kuta tetapi semuanya masih dalam satu Kabupaten Badung, Bali. Dari posisi letak geografisnya sebenarnya Dalung lebih cocok masuk Kecamatan Mengwi, logikanyanya adalah, jaman dahulu sungai adalah batas suatu wilayah. Kebetulan Dalung berada di wilayah sebelah Barat Sungai Yeh Poh. secara geografis Sedauh Tukad Yeh Poh sebenarnya wilayah Mengwi. Akibat adanya perang Tibubeneng yang menyebabkan hancurnya Tibubeneng, menyebabkan menjadi wilayah yang terpisah dengan Mengwi. Perang Tibubeneng sebenarnya perseteruan keluarga antara I Gusti Nyoman Rai dari Dalung dengan I Gusti Gede Mangku dari Tibubeneng. Dalung dibantu oleh Badung dan Kerobokan, dan Padangluah. Akhirnya Tibubeneng hancur, perang dimenangkan oleh I Gusti Nyoman Rai dari Dalung. Akibatnya wilayah yang menjadi kekuasaannya I Gusti Gede Mangku banyak dibawah kendali Badung. Semenjak itu komunikasi lebih banyak ke Badung. Dan bahkan beberapa orang Badung mulai tinggal di Tibubeneng. Sampai sekarang wilayah yang dulunya dipegang oleh I Gusti Gede Mangku sebagai penguasa Tibubeneng sebelumnya secara komunikasi menjadi kurang lancar ke Mengwi, dampaknya ketika jaman Republik bentuk akses komunikasi ini menyebabkan wilayah ini lebih cenderung masuk ke wilayah kec. Kuta.


Gambar diadopsi dari Henk Schulte Nordholt: 2006:


Sebelum Mengwi hancur (1891), wilayah Mengwi cukup luas. Untuk batas selatan Bahkan sampai Uluwatu. tetapi akibat pernikahan I Gusti Ayu Bongan ke Badung, menyebabkan Sedauh Tukad Mati menjadi milik Badung. Ini termasuk sebagian wilayah I Gusti Gede Meliling, termasuk Padangluah. Setelah I Gusti Gede Meliling wafat, perkembangan politik di wilayah kekuasaannya menjadi berubah. Konflik kepentingan antara putra-putra meliling semakin besar. Wilayah ini menjadi terpecah-pecah antara kubu I Gusti Gede Mangku (dominan komunikasi kie Mengwi) dengan I Gusti Nyoman Rai dari Dalung lebih dominan komunikasi ke Badung. Komunikasi ini menjadi lebih kuat ketika Perang Tibubeneng terjadi. Hal inilah membuat bentuk wilayah kecamatan seperti sekarang ini.
Ini hampir mirip dengan kondisi Turki, yang ditulis oleh Samuel P. Huntington dalam karyanya The Clash of Civilization and The Remaking of World Order, tahun 1996. Sebenarnya secara geografis Turki masuk Eropa, tetapi kenyataannya bukan Eropa, sehingga tidak masuk Masyarakat Ekonomi Eropa. Mengapa? karena proses komunikasi yang menyebkan memiliki Budaya yang berbeda dengan Eropa. Turki lebih cenderung ke kebudayaan Timur (Asia) dan sebagian besar Muslim. Sedangakn Eropa lebih kenal dengan Kebudayaan Barat. Semuanya itu tidak terlepas dari proses sejarah waktu terjadinya Perang.
Sebuah kelompok didasarlan antas persamaan kepentingan bisa menyebabkan dasar terbentuknya konglomerasi kekuatan politik. Akhirnya jika ini bertahan lama, dan penemuan kekcocokan dalam pemecahan masalah untuk keluar dari konflik, dapat membentuk terbentuknya sebuah kekuatan yang mengarah pada sebuah negara atau kerajaan.
Dalung memiliki kepentingan dalam pengembalian wilayah Padangluah yang sempat jatuh ke tangan Tibubeneng. Konflik kepentingan ini akhirnya mengundang campur tangan Badung karena I Gusti Nyoman Rai memerlukan bantuan untuk menggempur Tibubeneng. Badung menyanggupi karena juga memiliki kepentingan untuk memperkuat pertahanan perbataasan Badung terhadap Mengwi, dan memperkuat komonikasi dengan Dalung. Kerja sama ini akhirnya berhasil terwujud melalui kesuksesan dalam menghancurkan Tibubeneng. Putra-putra Tibubeneng akhirnya menyingkir ke Barat ke sebuah Desa yaitu Pererenan, masuk ke wilayah Mengwi. Mengwi yang memiliki komunikasi yang baik dengan Tibubeneng berusaha melindunginya, dengan cara mengirim utusan untuk menyelamatkan putra-putra Tibubeneng ke sebuah tempat yang sekarang bernama Tiying Tutul, kemudian dari tempat itu ke Desa Pererenan.
Pasca Kemenangan Dalung dalam perang di Tibubeneng menyebabkan secara komunikasi Dalung berdiri secara otonomi sendiri. Secara keukuasaan tidak di Bawah Badung, juga tidak jelas hubungannya hirarki secara komunikasi dengan Mengwi. Karena sangat memahami dan mengerti di hubungan putra-putra Tibubeneng setelah di Pererenan, semakin erat ke Puri Mengwi. Sehingga Dalung lebih memilih untuk mengatur dirinya sendiri. Hal ini sangat jelas ketika Mengwi hancur 1891, Dalung tidak memiliki peran yang jelas dalam mempertahankan kedaulatan Mengwi. Bahkan orang-orang Dalung justru memperoleh manfaat berupa migrasi penduduk besar-besaran masuk ke wilayah Mengwi seperti Abianbase, Desa Kapal, Buduk, dan Ulonomo. Sedangkan sebaliknya penduduk asli wilayah setempat desa-desa tersebut justru pergi lari ke luar Mengwi untuk menyelamatkan diri. Salah satunya penduduk asli Desa Kapal mengungsi ke Ubud. Begitu pula terhadap gelar yang mereka miliki. Penguasa di Dalung yang rata-rata adalah keturunan I Gusti Gede Tibung, tidak mengalami kondisi nyineb wangsa karena tidak tunduk pada kerajaan manapun. Mereka berdiri sendiri secara otonomi. Desa Dalung bukan pemberian kerajaan lain, tetapi mereka bangun sendiri, yang merupakan perpindahan dari Padangluah. Sehingga hari tegak petirtan Pura Desa di Dalung sama dengan di Pura Desa di Padangluah yaitu; Macekan Agung.

Rabu, 15 Juli 2009

Dauh Tukad Mati Tadtadan ke Badung dan Perkembangan Kuta

Catatan panglingsir (tetua) Puri Agung Denpasar Ida Cokorda Mayun Samirana pada sebuah situs Parisada menyatakan bahwa Dalung termasuk tadtadan ke Badung pada waktu pernikahan I Gusti Ayu Bongan (Putri Mengwi) rasanya perlu diluruskan. Karena pada masa perkawinan I Gusti Ayu Bongan ketika terjadi keputusan tadtadan tersebut Dalung belum berdiri (belum ada). Pada waktu itu yang ada adalah wilayah Padangluah. Sedangkan Dalung mulai ada sekitar tahun 1823-1825 M. Sehingga Dalung yang berada dauh Tukad Yeh Poh tidak termasuk dalam Tadtadan tersebut. Pernikahan tersebut terjadi pada waktu I Gusti Gede Meliling berkuasa di Padangluah, bahkan ikut dipanggil ke Mengwi untuk diminta persetujuannya oleh Maha Raja Mengwi. Keputusan itu memang dari I Gusti Ayu Oka sebagai Natheng Wadu Raja Mengwi tahun 1780-1807 Masehi. Menurut saya Dalung yang didirikan oleh Putra-Putra I Gusti Gede Tibung (baca Sejarah berdirinya Dalung pada blog ini) Dauh Tukad Yeh Poh tidak termasuk tadtadan ke Badung.

Ruapanya dari sekian peristiwa yang tercatat dalam sejarah semenjak I Gusti Ayu Oka sebagai Sri Ratu di Mengwi terlalu tergesa-gesa. peristiwa akibat keputusan dari pernikahan I Gusti Ayu Bongan sangat memberikan pengaruh signifikan terhadap Padangluah mengapa?.
Awalnya bermula dari I Gusti Ngurah Gede Oka, putra dari I Gusti Ngurah Jambe Pemecutan, Badung datang mengabdi kepada baginda ratu di Mengwi. Pengabdian yang bernuana politis ini akhirnya memberikan hasil yaitu; baginda ratu menikahkan I Gusti Ngurah Gede Oka (cucu dari I Gusti Ngurah Pucangan ) dengan I Gusti Ayu Bongan beribu I Gusti Tegeh Kori. Perkawinan ini metadtadan wilayah disebelah Barat sungai Mati, utaranya Nalu, Jagi, selatannya Jimbaran sampai dengan Huluwatu. Mengingat hampir sebagian besar wilayah yang dijadikan tadtadan I Gusti Ayu Bongan tersebut merupakan wilayah dipercayakan kepada I Gusti Gede Meliling atas panugraha I Gusti Agung Nyoman Alangkajeng Raja III Mengwi, maka I Gusti Agung Putu Agung sebagai Raja Mengwi ke VI memanggil I Gusti Gede Meliling di Padangluah untuk menghadap ke Puri Mengwi. I Gusti Gede Meliling tidak berani menolak perintah I Gusti Agung Putu Agung untuk menjadi tadtadan I Gusti Ayu Bongan. Walaupun demikian I Gusti Ayu Bongan menolak metadtadan rakyat begitu banyak. Beliau teringat akan kesalahan pada waktu beliau diminta pada kakaknya diberikan wilayah Kerobokan. Perkawinan ini memberikan makna penting bagi awal mulai berkembangnya kerajaan Badung yang kemudian pada masa sejarah berikutnya justru menjadi kekuatan yang menentang Mengwi. Pada masa dimulainya usaha untuk memisahkan diri dengan Mengwi dan mulai bangkit untuk intervensi, wilayah perbatasan kerajaan Negara Mengwi Selatan yang dikendalikan oleh putra-putra Meliling, seperti Padangluah, Kerobokan, mendapat intervensi pertama. Pada masa pemerintahan I Gusti Gede Meliling di wilayah sedauh Tukad Mati, dengan hak kemudahan yang diberikan oleh Maha Raja Mengwi ke III, salah satunya jika mau memperluas kekuasaan ke selatan (Jimbaran, Uluwatu, dan Kuta) itu sah-sah saja, karena wilayah tersebut memang untuk I Gusti Gede Meliling. Hal ini menjadi kurang menguntungkan bagi Badung, ditambah I Gusti Gede Meliling memiliki pengaruh yang begitu besar di wilayah Bali selatan (sedauh Tukad Mati). Kekuatiran ini dapat dimengerti, karena I Gusti Gede Meliling dapat saja menggunakan peluang ini untuk memperluas kekuasaan ke wilayah Badung. usaha Badung selanjutnya untuk mengatasi hal tersebut, melakukan pendekatan hubungan dengan Mengwi.

Manuper Mengwi adalah Untuk memperkuatnya dilakukan peningkatan hubungan dengan Badung melalui perkawinan I Gusti Ayu Bongan. Dengan demikian Badung masih dalam kendali Mengwi. Tetapi Tidak terpikirkan oleh I Gusti Ayu Oka tentang keputusan pernikahan ini membawa dampak pada hubungan pengendalian secara langsung jangka panjang untuk wilayah selatan, juga putusnya atau hilangnya jaringan niskala antara selatan (segara) dan pusat (gunung) dalam hal ini poros niskala Pura Ulun Siwi (Jimbaran) yang sangat penting bagi pertanian. Walaupun wilayah ini sebagian besar merupakan daerah yang sangat tandus, tetapi keberadaan Pura-Pura penting yang memiliki makna kesejahteraan dan kemakmuran ini dari sisi keyakinan niskala tidak dapat diukur dengan bentuk sekala tandusnya tanah yang ada di lingkungan ini. Ketidak lancaran ritual akhirnya terbukti begitu hubungan Badung-Mengwi menjadi tidak baik, akses yadnya (ritual) Pura selatan ini menjadi terlepas. Begitu pula dengan Pura Uluwatu. Benteng kekuatan niskala mengwi menjadi berkurang, baik dari sisi kesejahteraan pertanian dan pertahanan dan keamanan. Badung telah menguasai wilayah selatan tersebut. Dampaknya sangat terbukti memberikan kekuatan kesejahteraan dan kekuatan terhadap Badung. Semenjak memegang Pura-Pura penting tersebut, Badung yang tadinya merupakan wilayah lebih kecil dari Mengwi akhirnya mulai menampakkan kekuatannya, untuk berkembang. Akhirnya dalam proses sejarah menjadi ancaman yang begitu serius bagi Mengwi.

Perkembangan Kuta
Semenjak pernikahan Putra Badung dengan I Gusti Ayo Bongan, aktivitas Sedauh Tukad Mati mulai ramai dilakukan oleh Badung. Bahkan di Kuta yang dulunya sebagai wilayah pelabuhan dan perdagangan, mulai dimanfaatkan untuk kegiatan politik. Salah satu transaksi yang ramai pada abad 18-an di Kuta adalah transaksi budak untuk prajurit Belanda. Memang Belanda memerlukan banyak orang untuk prajuritnya untuk tingkat bintara. Dari catatan tahun 1830, terlihat perbandingan jumlah perwira, bintara serta prajurit antara bangsa Eropa dan pribumi dalam dinas ketentaraan Belanda. Di tingkat perwira, jumlah pribumi hanya sekitar 5% dari seluruh perwira; sedangkan di tingkat bintara dan prajurit, jumlah orang pribumi lebih banyak daripada jumlah bintara dan prajurit orang Eropa, yaitu sekitar 60%. Kekuatan tentara Belanda tahun 1830, setelah selesai Perang Diponegoro adalah 603 perwira bangsa Eropa, 37 perwira pribumi, 5.699 bintara dan prajurit bangsa Eropa, 7.206 bintara dan prajurit pribumi (Markus Vink: 2003).
Tahun 1808 pemerintah Belanda mengirim utusan pertama kali ke Bali, mendarat di Kuta menggunakan Kuta sebagai tempat diplomasi untuk melakukan hubungan politik dengan Raja-Raja di Bali, kemudian mencari calon prajurit untuk dibawa ke Jawa, tetapi tujuan ini gagal. Banyak Raja-Raja yang tidak siap, dan hanya Badung yang siap melakukan kontrak (Utrecht, 1962; 147 - 149, dalam Agung, 1998; 13) Kegiatan untuk memperoleh prajurit dari Belanda dengan Raja Badung berlangsung sampai tahun 1838. Enam tahun menjelang tahun 1824, Pemerintah Belanda mengirim wakil mereka bernama Said Hasan Al Habeschi untuk melaksanakan kesepakatan tentang sewa perbudakan untuk dijadikan prajurit. Delegasi ini gagal melakukan perundingan dengan Raja-Raja di Bali. Kemudian Pemerintah Belanda mengirim kembali kapten mereka bernama JS Wetters ke Kuta pada 1826. Terjadilah kegelisahan pada masyarakat karena masalah mencari calon prajurit untuk jangka panjang mempengaruhi situasi perdagangan pada waktu itu (Hoenel, 1854; 11, dalam, 1998; 13). Perkembangan selanjutnya Kuta tidak lagi dapat dikendalikan, dan yang terburuk Kuta menjadi banyak persembunyian penyelunduk apiun ke Jawa. Akibat kebijaksanaan Raja Badung memberikan kelonggaran izin, kuta menjadi semakin berkembang. Pada tanggal 1 Agustus 1839 Nederlandsche Handel Maatsschappiy (NHM) merupakan perusahaan perdagagangan Belanda mulai melakukan kegiatan di Kuta. Transaksi perdagangan menggunakan uang kepeng China, uang Spanyol bernama Piaster dan uang perak Belanda (Putu Rumawan Salain: Kuta from Traditional Village Towards Multi Ethnic City, Architecture Department, Faculty of Engineering Udayana University – Bali).
Dari gambaran tersebut berarti Kuta bukan lagi sebagai wilayah perdagangan tetapi juga aktivitas politik hubungan luar negeri Kerajaan Badung. Laporan Secara domografis tahun 1831, Kuta terdiri dari multi ethnis. Terdiri dari 400 keluarga Bali dan Bugis, dan 40 orang China.
Sebenarnya orang yang ikut berjasa sehingga Kuta menjadi semakin ramai pada abad ke 18 adalah Mads Johansen Lange, (lahir di Rudkobing, Denmark, 18 Sepetember – wafat di Kuta Bali 13 Mei 1856 pada umur 48 tahun) ialah seorang pedagang dan Juru Damai berkebangsaan Denmark di Bali, yang dianugerahi Orde Singa Belanda, dan menerima medali emas dari pemerintah Denmark atas pencapaiannya. Atas jasanya, Kuta berkembang sebagai kawasan perdagangan international pada awal abad ke 19 atau akhir abad 18. Ia biasa dijuluki Raja Bali (Kongen af Bali). Mulai tahun 1839 tinggal di Kuta sebagai pedagang. Pada tahun 1844, Lange diangkat sebagai agen resmi pemerintahan Hindia Belanda, mengingat hubungan pribadinya yang erat dengan masyarakat Bali kelas atas dan juga koneksi dagangnya. Namun, peran barunya hanya bersifat tipu muslihat karena saat itu Belanda sedang menyerang Bali utara dan memblokade jalur laut di selatan. Atas usahanya, Lange dapat mempertemukan Bali dan Belanda di meja perundingan. Setelah penandatanganan perjanjian tersebut, diadakan pesta besar di rumah Lange yang dihadiri oleh 30.000 orang. Pada tahun 1856, Lange sakit dan mohon pensiun, serta memutuskan untuk kembali ke Denmark, namun sayang dia meninggal pada saat kapal yang akan ditumpangi akan berangkat dan akhirnya dia dikubur di Kuta. Untuk memperingati Lange, sebuah jalan di Kuta dinamai Tuan Langa (situs Wikipedia).

Demikianlah sekilas tentang Kuta yang berkembang pada abad 18-an merupakan salah satu dari wilayah Mengwi yang lepas. Tidak seorangpun menyangka pada saat keputusan untuk dijadikan tadtadan pernikahan I Gusti Ayu Bongan ke Badung, Kuta yang merupakan wilayah yang gersang dan sebagaian terdiri dari hutan dikenal dengan istilah Mimba, manjadi begitu berkembang kemudian. Walaupun diatas tahun 1843 Kuta kemudian mulai kehilangan pamornya, akibat dari kurang dukungan dari permerintah local, dan perkembangan pelabuhan lain seperti Padang Bai, Bali Timur, Bali Utara, juga Pelabuhan Buleleng. Pusat perkembangan di Bali selatan menjadi berkurang. Dampak dari perubahan yang tidak baik ini, menyebabkan pemasukan untuk Badung menjadi berkurang. Akibatnya strategi baru harus dikembangkan untuk perubahan dan kemakmuran kerajaan jangka panjang, yaitu memperoleh akses pertanian, ini berarti diperlukan ekpansi.

Berkembangnya konflik tidak langsung (perang dingin ) antara Badung dan Mengwi menyebabkan Padangluah menjadi wilayah yang secara politis menjadi terjepit. Konflik diantara kerajaan-kerajaan kecil sebagai satelit Meliling sering terjadi. Seperti Masalah internal Kerobokan, Penyerangan Tibubeneng dipimpin I Gusti Gede Mangku ke Padangluah, kemudian terakhir hancurnya Tibubeneng akibat serangan I Gusti Nyoman Rai dari Dalung. Konflik tersebut adalah konflik kekuasaan diantara keturunan I Gusti Gede Meliling di wilayah selatan Negara Mengwi. Karena diantara mereka saling mencurigai dan terjadinya sikap saling berstrategi. Dampaknya benteng selatan Mengwi menjadi rapuh.

Minggu, 12 Juli 2009

Eksistensi Elite Dinasty Dalung

Istilah elite dinasti mulai saya kenal melalui tulisan Albert Wijaja, Budaya Politik dan pembangunan Ekonomi. Pada sebuah tatanan masyarakat para elite biasanya sangat memegang peranan penting. Untuk masyarakat yang masih transisi menuju measyarakat yang lebih maju, keterkaitan elite dinasty tidak dapat terlepas pada proses perubahan tersebut. Lalu bagaimana dengan proses perbahan di Dalung?
Kemononjolan pigur-pigur yang berpengaruh dalam keluarga besar I Gusti Gede Tegeh I , hampir seimbang. Artinya; ketersebaran mereka meliputi wakil secara informal dari masing-masing kelompok keluarga sub-keluarga besar I Gusti Gede Tegeh I, yang dikenal dengan system pos dan sub pos. Bahkan pergolakan sering terjadi yang mewarnai dinamika social di Dalung sering diakibatkan oleh kekuatan tarik menarik diantara mereka. Ketidak kompakan mereka mempengaruhi perpecahan masyarakat Dalung. Walaupun demikian peranan mereka untuk membentuk strutur Dalung dan menjaga tradisi sangat tidak dapat diragukan lagi. Mereka ada dalam posisi strategis yang mampu mempengaruhi pengambilan keputusan, bahkan arah gerakan dan menciptakan momentum sejarah pada masa lalu tidak terlepas dari sikap mereka. Kelompok pigur-pigur elite strategis ini dikenal dengan Elite Dinasti.
Peranan elite dynasty
Elite dinasti memegang peranan penting. Bahkan gerak proses sejarah sangat dipangaruhi oleh kalangan ini. Lebih-lebih dalam pengambilan keputusan pemerintahan. Begitu pula pada masa-masa selanjutnya (jaman republik) berkembang pemikiran tentang hirarki kawitan (baca; bagian sebelumnya), seperti Mengwi kemudian berkembang lagi menuju Gelgel, walaupun hanya terdiri dari sebagian kecil saja.
Sistem pemerintahan di Dalung (sebelum kemerdekaan RI) tidaklah seperti yang dibayangkan dalam cerita kerajaan secara klasik yaitu; keputusan mutlak di tangan satu penguasa. Jauh dari bayangan tersebut kita bisa lihat bahwa peranan keluarga melalui elite-elite dinastinya sebagai pengendalian kekuasaan cukup dominant. Bahkan berbagai keputusan penting juga lahir dari elite ini, seperti keputusan perang Tibubeneng pada sejarah Dalung dimana pigur I Gusti Nyoman Rai lebih kelihatan dari sang penguasa yang dikenal dengan istilah moncol. Ini mengisyatkan demokrasi sesuai dengan syarat iklim pada jaman itu telah tumbuh dan berkembang. Kebersamaan menjadi penting. Terutama dalam proses pengambilan keputusan penetapan tujuan dan proses pencapaian tujuan. Kebersamaan diekpresikan dengan kehadiran seluruh elite dinasti tesebut. Pergolakan dapat terjadi ketika terjadinya pengingkaran terhadap “kebersamaan” tersebut. Klik-klik yang bersifat mendiskritkan satu beberapa elite dinasti bisa saja terjadi, karena adanya upaya dan kepentingan tertentu secara individual dan pemanfaatan keadaan. Biasanya diwujudkan dalam kegiatan paruman dengan sengaja tidak menyampaikan informasi untuk kehadiran dalam parum penting. Keadaan ini merupakan salah satu bentuk dari pengingkaran terhadap “kebersamaan”, dampaknya “riak-riak” reaktif. Bentuk penyampiannya bisa berbentuk secara terbuka, atau tertutup dalam pengertian selektif hanya pada batas sub pos keluarga. Sedangkan penyampian secara terbuka, dilakukan secara langsung bahkan di dalam pertemuan parum melalui protes dan kritikan.
Pusat-pusat kekuatan strategis pada struktur masyarakat Dalung seperti lembaga-lembaga yang ada, di pegang oleh para elite dinasti. Dan kondisi itu secara optimal sampai dengan tahun 1990-an. Sebagai ciri khas elite dinasti secara umum, mereka sangat mempertahankan tradisi, mereka menutup kran-keran aliran pengaruh asing yang negative hal terjadi terhadap Dalung. Mereka sibuk dengan urusan social masyarakat. Rupanya tidak ada sikap atau kebijakan yang langgeng, kondisi jaman akhirnya memaksa mereka untuk menerima kenyataan masuknya pendatang dalam jumlah besar secara spontan melalui Perumahan Dalung Permai sebagai keran terbuka mengucurnya sifat social masyarakat dari luar, menyimpan berbagai permasalahan, dan perubahan social yang mengikis struktur Dalung yang telah dibangun dari proses sejarah diwujudkan dengan sengker empat pura. Rupanya para elite dynasty juga tidak mampu untuk menghadapi gerakan putaran jaman dalam bentuk hukum pasar yang telah menyerbu Dalung melalui investasi perumahan, lengkap dengan dampak social budaya yang menyertainya. Apa yang diwariskan oleh leluhurnya untuk menjaga Dalung dari kran pendatang yang tidak sehat sedikit demi sedikit melunak cair, dalam wadah penyesuaian diri. Dari permasalahan ekonomi, dan kemudian mendapatkan dirinya harus bersaing secara politik dengan para pigur-pigur baru sebagai pendatang dalam sebuah percaturan pengaruh. Hal ini sangat jelas kelihatan ketika berlangsungnya Pilkada dan Pilcaleg dengan system multi partai di tahun 2009.
Karakter elite dinasty
Lebih jauh dengan kaum elite dynasty di Dalung, ternyata mereka terdiri dari sifat dan karakter yang berbeda-beda. Klasifikasi karakter elite dinasti yang pertama, lebih mengutamakan usaha pemeliharaan tradisi dan kemapanan yang telah terjaga dengan baik. Gaya selektif dengan ketat, terhadap perubahan. Karena dilatarbelangi dengan upaya menjaga kemapanan tersebut, sikap mereka menjadi tidak mudah memberikan kepercayaan kepada orang lain lebih-lebih pada masalah kepemimpinan. Kecendrungan mereka jika sebagai pemimpin lebih berorientasi pada penyelesaian tugas (pencapaian tujuan) dari pada pemeliharaan hubungan. Sangat procedural. Selain itu terdapat juga elite dinastik yang tradisional klasik yang menentang setiap perubahan, kekuatiran mereka cukup berlebihan jika terjadi krisis social dan moral. Walaupun demikian terdapat juga elite dinastik yang moderat. Sikap mereka realistis, memandang perlu adanya perubahan atau pembahauran, dan menyesuaikan kebijaksanaan padanya. Tetapi sifat intinya untuk mempertahankan tradisi tetap melekat. Bedanya, penyesuaian kebijaksanaan dengan pembaharuan seiring dengan memelihara tradisi. Terakhir, terdapat juga elite dinastik yang disfungsional. Sikapnya lebih menuruti nafsu, ambisius terhadap pengaruh dan kekuasaan, provokatif-membenturkan bentuk kekutan-kekuatan, individualistis, materialistis, tidak mau memelihara norma dan tradisi, menghindari resiko, terutama keputusan yang mengandung resiko terhadap eksistensinya di lingkungan sosial masyarakat, dampaknya upaya pemecahan masalah dan penyelelesaian tugas menjadi terhambat.
Latar pendidikan, pergaulan komunikasi atau tingkat interaksi social mereka melahirkan perbedaan. Keberbedaan ini mempengaruhi pola pikir, gaya hidup dan pandangan mereka tentang bentuk tatanan masyarakat masa depan atau bentuk perubahan, serta eksistensi “keluarga” pada masa yang akan datang ditengah-tengah perubahan lingkungan yang sangat cepat. Masa depan menjadi terjadi terlalu dini. Akhirnya banyak dari mereka “merasa terasing” dengan masa kini, karena masa depan tanpa disadari sudah mulai terjadi pada masa sekarang.
Dalam kenyataan ini, terdapat dua bentuk reaksi elite dinastik, pertama, tidak terlalu banyak memikirkan masa depan tetapi lebih memikirkan masa kini. Reaksi kedua, yang merasa tidak puas dan kecewa dengan masa kini, akan sangat merindukan perubahan masa depan. Terjadi kepincangan jika tidak terdapat keseimbangan pola pikir antara masa kini dan masa depan. Kaum elite dinastik yang hanya memikirkan masa kini dan hanya terikat dengan berbagai persoalan sekarang, ia tidak akan mampu menjawab persoalan masa depan. Sebaliknya jika ia hanya orientasi ke masa depan maka ia tidak mampu mengatasi masa kini. Dalam gejolak tersebut, terdapat pemikiran idial masa depan adalah kehadiran kembali keadaan idial masa lampau, diistilahkan dengan nativisme yaitu; keinginan yang kuat untuk mengembalikan masa lampau yang jaya. (Frank E Manuel, dalam Albert Wijaja, 1982)
Iklim individualistic sudah berkembang seiring dengan masuk derasnya aliran kapitalis, melalui roda industrialisasi. Pada prosesnya terjadi pergeseran tentang arti “kebersamaan” yang telah diterjemahkan dalam “hati sanubari” masing-masing pada masa lalu ketika keadaan masih digerakan roda agraris. Bahkan arti dari kekuasaan menjadi bergeser ke arah materialistis. Oleh sebab itu para elite dynasty terpacu mengejar materi dan posisi di lembaga-lembaga pemerintah dan swasta. Bentuk ancaman bukan lagi berupa perkembangan kerajaan tentangga, tetapi keterbelakangan dan kemiskinan. Oleh sebab itu pembentukan Sumber Daya Manusia menjadi ciri penting bagi para elite dynasty pada masa tersebut.

Sabtu, 30 Mei 2009

SEJARAH PENATAAN DAN BANGKITNYA DALUNG

Setelah perang di Uma Dawas menyebabkan hancurnya Tibubeneng, masyarakat mulai berupaya untuk menenangkan diri. Perang membawa bekas ketidaktenangan, dan kecurigaan kepada setiap orang lain, terutama orang asing sebagai pendatang. Tetapi disatu sisi pada tingkat local Dalung, perang tersebut memperkuat persatuan komunitas warga dan persaudaraan, karena adanya berbagai kemungkinan ancaman dari luar untuk menghadapinya diperlukan kebersamaan. Demikian pula perang membawa dampak menularnya penyakit yang diistilahkan dengan “gering” atau “grubug”. Jaman tersebut masyarakat sangat menyakini bahwa gering tersebut disebabkan oleh kekuatan luar yang negative. Salah satu misalnya; kekalahan musuh yang masih menaruh dendam. Tetapi berdasarkan data sebagian besar gering pada masa itu disebabkan oleh wabah kolera, diduga oleh penyebaran pengungsi dari luar yang terjangkit penyakit melalui mayat korban perang yang tidak sempat terurus dengan baik. Bahkan banyak mayat korban perang dibuang oleh musuhnya ke kali atau sungai. Sedangkan sungai pada jaman dahulu memiliki fungsi yang besar untuk kegiatan rumah tangga. Alirannya mengalir melewati desa-desa mempermudah penyebaran epidemic tersebut.
Setelah perang Tibubeneng, hubungan antara Dalung dengan Badung terutama, Puri Denpasar dan Puri Pamecutan terjalin komunikasi yang sangat baik. Angga dari Dalung selalu diperlakukan istimewa jika berkunjung ke Puri Denpasar. Tetapi tidak demikian setelah hancurnya Mengwi 1891. Hubungan baik ini menjadi kurang harmonis, dengan Puri Pemecutan dan Badung Kaleran. Sedangkan hubungan ke Puri Denpasar tetap berjalan dan terbina dengan baik.
Demi ketenangan baik secara niskala dan sekala, I Gusti Gede Tegeh III dan saudaranya memandang perlu mencari tempat yang lebih baik sebagai Jero. Pilihan jatuh di sebelah Timur Laut dari posisi Jero di Banjar Kaja. I Gusti Gede Tegeh III bersama kedua adiknya membangun Jero disana (posisi semula agak ke Selatan dari Jero Gede sekarang dan Balai Banjar Tegeh). Kemudian atas pertimbangan tertentu, dan saran dari Cokorde Denpasar dan Pemecutan Jero Gede lebih sesuai berada di Utara dari lokasi yang telah ditempati tersebut (baca: RAAD VAN KERTA TE DENPASAR, 211/1937/Civiel diatas f1000, Resident September 1937) Relief permukaan tanahnya agak lebih tinggi (tegeh). Pada lokasi di Utara tersebut berdiri Jero Gede yang disebut dengan Jero Gede Meliling Dalung. Beliau juga membangun komunitas Banjar yang diberi nama Banjar Tegeh, balai banjarnya ada di jaba sisi Jero Gede. Ini merupakan pembangunan besar-besaran yang mencerminkan pembangunan struktur pasemetonan, kemasyarakatan dan pemerintahan. Dari bentuk tata letak lokasi Jero Gede, penataannya sangat menyatu dengan format wilayah Dalung yaitu sangat sesuai dengan konsep Catur Bhuwana. Bukti adanya unsur masukan dari pihak Puri Denpasar dalam melakukan tata letak Jero Gede.


Konsep dasar catur bhuwana adalah; membagi wilayah menjadi empat area. Masing-masing area memiliki fungsi. Biasanya yang menjadi Standar dan poros atau basis adalah posisi pusat pemerintahan. Dari poros tersebut mulai pusat pengaturan dan penataan, kemudian melebar ke wilayah lainnya. Dari pusat pemerintahan dapat ditentukan mana luanan dan tebenan atau mana utama mandala dan nista mandala. Idialnya Pura Desa dan Puseh selalu berada di utama, luanan pusat pemerintahan.

Pengendalian dapat dengan mudah dilakukan jika wilayah terbatas luasnya dan penduduk masih sedikit. Tetapi sebaliknya pada proses waktu (sejarah) sangat sulit dikendalikan akibat dari pertambahan penduduk, dan melebarnya wilayah pemukiman akhirnya merembet wilayah pertanian. Lama kelamaan batas catur bhuwana menjadi kabur. Proses inilah yang terjadi di Dalung.

Kondisi Catur Bhuwana di Dalung secara fisik tidaklah nyata seperti di Denpasar yang menyatukan konsep catuspatha. Artinya tampak dara sebagai pembatas catur bhuwana tidak digambarkan dengan bentuk fisik berupa jalan di tengah-tengah posisi silang terdapat Catur Muka. Tetapi gambaran tampak dara merupakan arah mata angin (lihat gambar10.1). Posisi gambar lingkaran merupakan ruang hampa (arel kosong), biasanya untuk acara tawur agung menjelang Nyepi. Di Dalung prosesi tawur agung dilakukan di jaba sisi Pura Desa. Kalau dilihat pada struktur gambar arah catur bhuwana gambar 10.1 maka lokasi jaba sisi Pura Desa (untuk tawur agung) masih dalam radius ruang hampa tersebut.

Jika dicermati secara garis besar, strukturnya sangat jelas kelihatan. Walaupun konsep catur bhuwana di Dalung tidak sama seperti di Denpasar, tetapi terdapat keunikan yaitu pada setiap ujung tampak dara terdapat Pura sebagai sebagai ujung arah. Menunjukan filosofi energi mengarahkan ke setiap sifat masing-masing dari catur tersebut adalah kekuatan yang kuasa, sesuai dengan manipestasinya. Artinya kemanapun arah kita melangkah tetap tertuju pada kekuatan Hyang Kuasa. Sebagai perbandingan dengan konsep Denpasar lihat gambar berikut


Catur bhuwana di Dalung tidak menyatu dengan konsep catuspatha, beberapa alasan kemungkinan yaitu; karena Dalung bukanlah kerajaan besar. Tetapi hanya kerajaan satelit dari Mengwi, yang kemudian berotonomi sendiri secara komunikasi. Sehingga catuspatha sebagai pusat kerajaan (titik nol) Ibu Kota kerajaan ada di Mengwi. Dalung bukanlah Ibu kota. Walaupun demikian konsep catuspatha sebagai pempatan agung terdapat di Dalung jika dilihat dari sisi Jero Kajanan Pusat pemerintahan (secara local) lama sebelum pindah ke Jero Gede, juga tampak pada posisi Jero I Gusti Putu Adi di Banjar Lebak. Konsep catuspatha di Dalung berbeda dengan Kerajaan besar seperti Mengwi dan Denpasar, yaitu bukanlah catuspatha sebagai pusat Ibu Kota tetapi merupakan pusat pemerintahan wilayah bawahan Negara (dalam hal ini Mengwi), ketika jaman kerajaan sudah tidak ada, memasuki jaman republic, akhirnya berubah menjadi catuspatha desa. Menurut beberapa kajian, terdapat jenis-jenis catuspatha. Yaitu catuspatha berfungsi sebagai pusat kutaraja suatu negara (dalam hal ini Mengwi) dan ada catuspatha yang merupakan pusat pemerintahan wilayah bawahan Negara (Dalung sebagai satelit Mengwi), dan ada catuspatha desa.

Alasan alternative lainnya; mengapa posisi pusat pemerintahan (Jero Gede) mengabaikan catuspatha, bahwa akibat proses sejarah pembangunan dan penataan Dalung mengalami krisis referensi sastra yang mengatur tentang aturan secara sastra tentang tata ruang. Pusat sastra pada jaman itu berada di Griya atau pada wiku. Sedangkan di Dalung tidak ada wiku yang berani membangun griya. Sehingga referensi wiku atau sulinggih sebagai bagawanta hampir tidak ada. Inilah sebabnya konsep catuspatha kalau dilihat dari Jero Gede menjadi kabur. Bahkan berpengaruh juga pada penataan pura-pura sanak putra di Dalung.

Istilah catuspatha berasal dari bahasa Sanskerta catus yang artinya empat dan patha yang berarti jalan, sehingga bila dipadukan akan berarti jalan yang bercabang empat atau simpang empat. Di Bali, catuspatha diartikan bukan sekedar simpang empat atau pempatan tetapi suatu simpang empat (crossroads) yang memiliki nilai sakral dan makna tersendiri dan disepadankan dengan pempatan agung. Dengan demikian setiap simpang empat di Bali adalah pempatan, namun tidak seluruh pempatan merupakan pempatan agung. Di zaman kerajaan di Bali catuspatha bukan sekedar simpang empat yang sakral tetapi terkait pula dengan statusnya sebagai pusat ibukota kerajaan. Sebagai pusat ibukota, dan ibukota adalah pusat wilayah negara, maka catuspatha adalah pusat negara. Negara dalam budaya Bali yang dijiwai oleh agama Hindu adalah suatu kosmos kecil yang merupakan replika atau miniatur alam raya (makrokosmos). Dalam kedudukannya sebagai pusat negara, maka catuspatha mengandung unsur-unsur: puri sebagai keraton atau pusat pemerintahan merangkap sebagai rumah jabatan; pasar sebagai pusat perdagangan/tempat transaksi; bangunan wantilan sebagai pusat budaya/hiburan khususnya sabungan ayam (tajen); dan ruang terbuka umum yang digunakan untuk taman rekreasi yang kadang-kadang ada yang dilengkapi dengan satu bangunan terbuka yang panjang (bale lantang). (I Gusti Made Putra, Catuspatha Konsep, Transpormasi, dan Perubahan, Jurnal Pemukiman Natah Vol. 3 No. 2 Agustus 2005 : 62 – 101).

Kajian sejarah masa lalu, menunjukan, di Dalung terjadi dua kali perpindahan pusat pemerintahan. Dari Jero Kajanan (Banjar Kaja), kemudian pindah ke Jero Gede (di Banjar Tegeh). Sehingga konsep pempatan agung dilihat dari sejarah sangat jelas batas-batasnya yang mengekspresikan pada sumbu Jero Kajanan. Pempatan agung yang mengadopsi nilai catuspatha secara fisik (nyata) sebagai titik nol berada pada persimpangan jalan ke arah Kapal, Abianbase, ke timur ke Sempidi dan Padangluah, ke Barat menuju Tibubeneng, dan ke selatan menuju Setra. Pada pesimpangan jalan terdapat kegiatan ekonomi berupa pasar,yang tepat berada di Jaba sisi Jero Kajanan. Dekat dengan catuspatha tersebut terdapat pohon kepuh besar. Kajian ini menunjukan penataan tata wilayah Dalung, terjadi dua kali, yaitu pada saat masih di Jero Kajanan sebagai pusat pemerintahan, kemudian penataan ke dua setelah pusat pemerintahan pindah ke Jero Gede Dalung (di Banjar Tegeh). Pada penataan kedua kita hanya menemukan konsep catur bhuwana, sedangkan pempatan agung menjadi kabur.

Seperti dikemukan sebelumnya, bahwa kurangnya referensi sastra dari wiku untuk tata ruang untuk Dalung, menyebabkan posisi Jero Kajanan menjadi kurang menarik ditinjau dari format struktur catuspatha yang termuat dalam sumber sastra lontar Lontar Eka Pretamaning Brahmana Sakti Bujangga dan dan Batur Kelawasan.

Karateristik poisisi pusat pemerintahan yang idial yang termuat dalam Lontar Eka Pretamaning Brahmana Sakti Bujangga. Dan Lontar Batur Kelawasan dikutip dan diterjemahkan oleh I Gusti Made Putra Catuspatha Konsep, Transpormasi, dan Perubahan, Jurnal Pemukiman Natah Vol. 3 No. 2 Agustus 2005 : 62 – 101 adalah sebagai berikut:

“Yan kita anangun tata negara, wnang awruha ikanang patemoning rasa, apan kita dadya metu ikang patemoning bhuana rho maka ingaranan bhuana agung lan bhuana alit, ika maka pawetuan idep maka palingganya angawe kakertaning jagat, apan meawak bayu, angeka bhuana, anglebur sehananing leteh, ika kramanya Brahmana Bujangga pinaka guruning ikang guru ri sekala….. Iti tataning ngawe tata negara maka umahing rat, luirnya; ikang bhuana metu saking idepta, apan idep maka patemoning rasa dadya metu catur lokapala ri akasa, yan mijil ri bhuana sekala dadya bhumi nyatur ingaranan catur negara… Urip lan pati maka pawedalan lemah lan wengi ika ngaran purwa lan pascima, patemoning rasa maka utama lan nista maka ngaran uttara lan daksina. Yan maka catur nunggal dadya ngaran bhumi tunggal maka palingganing angawe tataning tatanegara yan samangkana metu ikang catuspatha. Patemoning catuspatha ngaran raksa bhuana maka pangider-idering ikang negara ika payoganing ikang negara maka tataning linggih sang amudra bhumi”


Artinya:
Di dalam membangun tata negara, perlu ada perpaduan rasa, karena hal itu merupakan perpaduan dua dunia/alam yaitu mikrokosmos dan makrokosmos (bhuana alit dan bhuana agung), yang diwujudkan melalui pikiran sebagai inspirasi di dalam upaya mewujudkan kesejahteraan, keadilan, dan keserasian alam. Tugas Brahmana Bujangga, guru dari semua guru di alam nyata, adalah untuk mewujudkan tenaga, menyatukan alam, dan mewujudkan kesucian. Untuk menata kerajaan sebagai tempat tinggal rakyat, pertama-tama perlu memahami asal mula pembentukan alam. Alam itu terbentuk dari pemikiran yang merupakan perwujudan rasa. Dalam alam ditentukan empat arah mata angin (caturlokapala) yang kemudian diejawantahkan menjadi catur negara. Hidup dan mati merupakan perwujudan siang dan malam yang diartikan pula sebagai arah timur dan barat. Perpaduan rasa yang merupakan perwujudan nilai utama (tertinggi) dan nista (terendah) diejawantahkan dengan arah utara dan selatan. Bila keempatnya ditemukan menjadi simbol bumi bulat dan diwujudkan dengan pola catuspatha (pempatan agung). Pusat catuspatha merupakan pusat dunia dan juga pusat negara. Dari sinilah menentukan letak puri seorang kepala negara.

Kemudian menganai tata letak ditegaskan dalam lontar Batur Kelawasan sebagai berikut:

“Ersanya utamaning negara maka linggih ikang rat. Genyan pawetuan ikang gni rurub apan lebur ikang rat, tan wenang kangge. Neriti utama apan wredhi ikang rat negara. Wayabya dahat kadurmanggalan apan gni astra payoganya” (Lontar Batur Kelawasan)

Artinya:
“Timur laut tempat yang utama untuk puri. Tenggara perwujudan dari kobaran api yang menyebabkan hancurnya kerajaan, tidak baik untuk tempat puri. Barat daya, utama, karena mengakibatkan rakyat di dalam negara hidup sejahtera, makmur, berkembang, dan mewah. Barat laut berakibat buruk karena merupakan tempat gni astra “. Posisi puri di timur laut adalah utama, di tenggara adalah buruk karena negara akan hancur (gni rurub), di barat daya adalah baik karena raja akan dihormati (kweh bakti), dan di barat laut adalah baik karena raja akan bersifat sosial (dana). Dari dua sumber di atas maka dapat disimpulkan bahwa letak puri ditentukan dari pusat catuspatha, di timur laut dan di barat daya mutlak baik, di tenggara mutlak buruk, dan di barat laut ada baik dan ada buruknya (Sumber: I Gusti Made Putra, Catuspatha Konsep, Transpormasi, dan Perubahan, JURNAL PERMUKIMAN NATAH VOL. 3 NO. 2 AGUSTUS 2005 : 62 - 101)




Gambar .: 10.4
Makna sumbu dan alternatif tata letak pusat pemerintahan dalam catuspatha (Lontar Eka Pretamaning Brahmana Sakti Bujangga dan Batur Kelawasan) Gambar ini diadopsi dari I Gusti Made Putra, Catuspatha Konsep, Transpormasi, dan Perubahan, Jurnal Pemukiman
Natah Vol. 3 No. 2 Agustus 2005



Jika gambar diatas diproyeksikan ke posisi Jero Kajanan Dalung memberikan gambaran bahwa posisi jero berdasarkan sumbu catuspatha berada pada posisi yang kurang baik, yaitu disimbulkan dalam agni astra, yaitu “kobaran api” yang menyebabkan situasi konflik dan panas, suhu politik dan social meningkat, peperangan dan konflik internal juga lain sebagainya. Hanya dana menjadi unsur baiknya yaitu raja bersifat social kepada rakyatnya. Begitu pula dengan kedekatan hubungan pemimpin dengan rakyatnya. Dari posisi Jero Kajanan inilah I Gusti Nyoman Rai memutuskan perang Tibubeneng. Artinya perang Tibubeneng diputuskan ketika pusat pemerintahan berada di Jero Kajanan. Hubungan rakyat pada masa itu dengan penguasa sangat baik, dibuktikan dengan kesetiaan rakyat untuk ikut perang membela I Gusti Nyoman Rai. Perang pada waktu itu melibatkan banyak relawan. Penulis menduga adanya unsur kurang baik (agni) membuat pusat pemerintahan di Jero Kajanan Dalung kemudian pidah ke Jero Gede Dalung, untuk alasan ketenangan yang dilakukan setelah perang Tibubeneng.



Gambar:
Proyeksi posisi Jero Kajanan Dalung pada sumbu catuspatha berdasarkan lontar
Eka Pretamaning Brahmana Sakti Bujangga dan Batur Kelawasan

Perpindahan pusat pemerintahan dari Jero Kajanan di Banjar Kaja, ke Banjar Tegeh tidaklah berjalan lancar. Lokasi pertama berada agak ke selatan (sekarang Jeronya I Gusti Ngurah Sumarajaya) kemudian pindah agak ke Utara (Jero Gede sekarang). Perpindahan ini atas masukan dari Cokorde Puri Denpasar dan Pemecutan. Menjelang akan pindah ke Jero Gede yang baru (Jero Gede sekarang), salah satu anak dari I Gusti Gede Tegeh III bernama I Gusti Kompiang Payuk (perempuan), ibunya prami (padmi) dicarikan sentana bernama I Gusti Rai Keloting (masih satu kerabat keluarga besar keturunan I Gusti Gede Tibung yaitu satelit I Gusti Ketut Dauh). Status I Gusti Kompiang Payuk menjadi purusa dan I Gusti Rai Keloting adalah pradana.

Mereka tinggal di Jero Gede Saren Tengah, bersama ayahnya I Gusti Gede Tegeh III. Struktur Jero Gede dibagi menjadi tiga areal dan masing-masing ditempati oleh; I Gusti Gede Tegeh tinggal di Saren Tengah (bersama putri dan menantunya I Gusti Kompiang Payuk dan I Gusti Rai Keloting), Gusti Gede Dauh di Saren Kelod Sedangkan I Gusti Ketut Dauh di Saren Kangin Tetapi dalam proses sejarah salah satu putra I Gusti Ketut Dauh bernama I Gusti Putu Adi lebih memilih pindah tinggal ke arah Barat Jero Gede, membangun jero disana menghadap ke Selatan. Terdapat jaba tengah (sekarang rumahnya I Gusti Rai Bawa). Di depan Jero (jaba sisi) berdiri balai banjar yang diberi nama Banjar Lebak, dari Jero Banjar Lebak ada yang ke lebih ke Barat lagi sekarang disebut Banjar Cepaka I Gusti Putu Adi Setelah usia lanjut sering pergi ke Banjar Cepaka, lama kelamaan merasa senang disana sampai dengan akhir hayat hidupnya. Sehingga “diunggahin atau dilinggihkan” (distanakan) di Merajan Jero di Cepaka. Oleh sebab itu struktur arsitektur di Jero Cepaka menjadi berbeda dengan di Jero Banjar Lebak yaitu di Jero Cepaka terdapat Balai Gede. Sedangkan di Jero Banjar lebak hanya balai tiang sanga biasa. Hal tersebut dapat disaksikan sampai sekarang. Karena I Gusti Putu Adi melinggih di Jero Banjar Cepaka, maka merajan lingsir keturunan I Gusti Putu Adi ada di sana. Walaupun I Gusti Putu Adi pindah dari Jero Gede masih ada keturunan I Gusti Ketut Dauh yang tinggal di Banjar Tegeh, sebagian di Naplekan, serta di Utara dan Selatan Balai Banjar Tegeh, demikian juga di Jero Gede Saren Kangin masih tetap ada yang meneruskan. Diselatan balai Banjar Tegeh, meneruskan Jero Gede yang lama.

Ketiga putra I Gusti Gede Tibung bersama keturunannya dan rakyatnya pada lokasi yang baru tersebut juga membangun Merajan pemujuaan yang diberi nama Merajan Agung Meliling. Yang paling distanakan terdapat pelinggih pengayengan Ida Betara di Gunung Agung dalam bentuk Padmasana. Bangunan Suci ini biasanya berbentuk meru tumpang sebelas (seperti di Taman Ayun Mengwi) sebagai poisisi tertinggi seperti Gunung Agung yang merupakan posisi tertinggi di Bali, stananya Siwa. Bangunan ini biasanya hanya ada pada merajan orang yang memegang kekuasaan (raja) di wilayah local yang bersangkutan. Simbul Gunung Agung merupakan ekpresi dari pemegang posisi tertinggi disuatu wilayah tertentu. Petirtan di Pura Merajan Agung adalah Budha Wage Merakih Selain itu dibangun pula Pura Kahyangan Tiga yaitu Desa, Puseh, Dalem Gede masih dalam radius lingkungan Banjar Tegeh lokasi Jero Gede Dalung.

I Gusti Putu Adi yang pindah dari Jero Gede Saren Kangin, memilih posisi agak kebarat dari Jero Gede (sekarang banjar Lebak) atas pertimbangan lokasi memiliki daya tarik secara magis. Lokasi tersebut memiliki nilai positif berdasarkan format sumbu catuspatha. Dalam format gambar lihat gambar berikut.

Berdasarkan format sumber pustaka yang termuat dalam lontar Eka Pretamaning Brahmana Sakti Bujangga dan Batur Kelawasan, maka posisi Jero I Gusti Putu Adi, memiliki lokasi yang paling baik, terletak pada posisi utama. Ruang yang terbentuk oleh pertemuan atau perpaduan empat ruas pada lokasi Jero I Gusti Putu Adi di Br Lebak ini, juga dapat disebut dengan Pempatan Agung (raksa bhuwana). Pada lokasi tersebut sering digunakan ritual keagamaan oleh masyarakat Dalung terutama masyarakat dadian blumbang seperti upacara tawur (mecaru), menjemput bhatara (mendak siwi), nebusin, bahkan juga untuk melatih kedidjayaan termasuk pengiwa. Sehingga pempatan ini pada jaman dahulu terkenal kuat unsur magisnya. Pempatan ini dapat dikatagorikan sebagai pempatan agung. Karena mengandung unsur raksa bhuwana maka pada bagian ini juga diyakini berstana (melinggih) kekuatan alam yang dijabarkan dalam berbagai istilah seperti; Sanghyang Catur Bhuana (baca: Tutur Gong Besi), dan Sanghyang Adi Kala (baca: Tattwa Japakala), dan Sang Bhuta Prajapati (baca: Kanda Pat), semuanya merupakan wujud kekuatan ciptaan Siwa Mahakala.

Menurut berbagai sumber ada yang mengatakan Pempatan Agung juga terdapat di sebelah selatan Banjar Tegeh yaitu di sebelah barat setra atau Pura Dalem Gede di Dalung. Ke Utara menghubungkan ke Pura Desa dan Puseh, juga Paling ujung Pura Dalem Tegeh. Sedangkan ruas ke selatan menghubungkan ke Pura Dalem Tegal. Ruas ke Barat ke menghubungkan ke wilayah desa lain seperti Tibubeneng dan lain sebagainya. Sedangkan ke Timur menuju setra dan Pura Dalem Gede di Dalung. Sebagian besar arah jalan yang berdasarkan konsep pempatan di Dalung berakhir pada Pura. Dan hanya sebagian kecil arahnya menghubungkan pusat kehidupan desa lain atau kerajaan lain. Ini menunjukan bahwa Desa Dalung secara social dan struktur fisiknya mencitrakan wilayah yang memproteksi diri dari hal-hal luar. Latar belakang terjadinya berbagai perang, pengalaman hidup sebagai pelarian dari Padangluah, dan hal-hal negative seperti bahaya penyakit menular (yang biasanya terjadi setelah perang) intimidasi dari kekuatan luar membentuk watak atau karakter yang unik dan selalu mencurigai pendatang. Sehingga memilih sebagai wilayah yang berotonomi sendiri.

Dengan demikian, setelah perang Tibubeneng keturunan dari I Gusti Gede Tegeh III di Dalung lebih banyak diwarnai aktivitasnya tentang pencarian posisi Jero sebagai pusat pemerintahan. Tetapi walaupun akhirnya mereka memperoleh tempat posisi yang baik yaitu di utama mandala (sekarang di Banjar Lebak), tetapi mereka tidak semuanya pindah kesana. Hanya I Gusti Putu Adi bersama dengan keluarganya memilih tinggal di posisi tersebut. (untuk lebih lengkapnya silahkan baca: I Gst Ngr Agung Eka Teja Kusuma, Dari Padangluah ke Dalung, edisi revisi, tebal 400 halaman lengkap dengan pembuktian sejarah dan photo-photo)

Sumber: I Gusti Ngr Agung Eka Teja Kusuma, Dari Padangluah ke Dalung, Edisi Revisi.

Sejarah Berdirinya Dalung

Awalnya wilayah yang menjadi Desa Dalung sekarang ini merupakan sebagian semak-semak dan tegalan, dan juga terdiri dari tanah persawahan yang subur. Sebelah timurnya sebuah wilayah Desa yang disebut dengan Padangluah, sekarang dikenal dengan Padangluih. Jaraknya hanya dibatasi dengan sungai yang dikenal dengan Sungai Yeh Poh yang mengalir ke Laut selatan Bali.
Sebenarnya cikal bakalnya berdirinya Desa Dalung sangat erat hubungannya dengan Desa Padangluah yang merupakan kerajaan Meliling, karena awalnya diperintah oleh I Gusti Gede Meliling, yang merupakan putra ke empat dari Raja Ke III Mengwi yaitu I Gusti Agung Nyoman Alangkajeng.
Pada masa Pemerintahan I Gusti Gede Meliling yang berpusat di Padangluah, keadaan digambarkan dengan situasi yang sangat stabil baik secara ekonomi maupun secara sosial politik. Tidak ada terdapat cacatan sejarah yang menyatakan terjadinya pergolakan pada masa tersebut. Tetapi keadaan menjadi lain ketika Beliau wafat. Rupanya jaman berubah menjadi kaliyuga, putra-putra Meliling sudah saling berstrategi, dan terasa sudah tidak rukun dan bersatu kembali. Hal ini tidak terlepas dari adanya propokasi dari pihak kerajaan lain yang sangat berkepentingan terhadap wilayah tersebut, yang terkenal subur dan strategis.
Pergolakan demi pergolakan terjadi, termasuk adanya kekeringan akibat aliran irigasi yang disebabkan oleh jebolnya terowongan sehingga aliran air di Dam Gumasih tidak mampu ke wilayah Padangluah dan sekitarnya. Masyarakat mengalami kelaparan yang berat. Dampaknya konflik multi dimensi tidak dapat dihindarkan. Puncaknya ketika pada masa I Gusti Gede Tibung cucu dari I Gusti Gede Meliling, menjadi Yuwe Raja di Padangluah kebetulan pada waktu itu terjadi kegiatan upacara berkabung (ngaben) I Gusti Gede Tegeh I putra I Gusti Gede Meliling dan ayah dari I Gusti Gede Tibung. Perang saudara tidak dapat dihindari. Saudara tirinya I Gusti Gede Tegeh, yaitu I Gusti Gede Mangku dari Tibubeneng melakukan penyerangan terhadap Padangluah, yang menyebabkan Gugurnya I Gusti Gede Tibung di Kwanji.
Wafatnya I Gusti Gede Tibung meninggalkan empat putra laki-laki. Keempat putra beliau pergi ke Dauh Tukad Yeh Poh ( sebelah barat Sungai Yeh Poh, sekarang: Banjar Kaja) bersama anggota keluarganya masing-masing. Keempat putra beliau tersebut adalah I Gusti Gede Tegeh (III), I Gusti Nengah Tegeh, I Gusti Gede Dauh, dan I Gusti Ketut Dauh. Dari tempat ini mereka menghitung sisa-sisa keluarga dan rakyat yang masih ada. Mereka tidak mau jauh dari Padangluah, agar dapat memantau perkembangan Padangluah. Menyelamatkan rakyatnya yang masih di Padangluah yang memerlukan pertolongan. Ternyata tempat yang paling strategis adalah Dauh Tukad Yeh Poh tersebut (sekarang Banjar Kaja, Dalung). Akhirnya diputuskan tetap sementara tinggal disana sambil membangun strategi lebih lanjut. Perasaan sedih harus kehilangan rakyat, saudara, orangtua, kerabat, sahabat, dan wilayah. Keempat putra I Gusti Gede Tibung berusaha untuk meyakinkan diri dan memperkuat keyakinan tersebut untuk tidak patah semangat. Semasih tulang tidak patah kita jangan menyerah, dan harus mampu membangun diri, untuk rencana berikutnya. Dalam suasana seperti ini muncul istilah “jangan patah” yang berarti De Lung, kemudian kata-kata itu didengungkan dari mulut kemulut keseluruh masyarakat, untuk membangun mental dan semangat. Maka muncul istilah Dalung yang kemudian menjadi nama Desa yaitu Desa Dalung. Diperkirakan terjadi antara tahun 1823 - 1825.



Pada lokasi yang kemudian menjadi wilayah Banjar Kaja tersebut dibangun Pura Dalem Tibung yang merupakan “cahaya” Pura Dalem Tibung Kwanji. Untuk menghilangkan “getaran” rasa kawatir akibat suasana perang yang masih melekat, dari Pura tersebut walaupun masih sangat sederhana, mereka bersama rakyatnya sering memohon keselamatan. Rupanya cahaya yang terpancar di Pura Dalem Tibung, sesuai dengan suasana pada masa itu yaitu getaran jengah dan semangat untuk bangkit. Oleh sebab Pura Dalem Tibung di ekpresikan sebagai Pura untuk memohon kedigjayaan, wibawa, kekuasaan, dan pengaruh juga pemerintahan. Dari Pura tersebut diperoleh pencerahan, untuk membangun Desa dengan sengker empat pura, yang mengelilingi Desa Dalung. Dan yang paling pertama harus dipertimbangkan adalah pembangunan Pura Kayangan Tiga dan Tempat Pusat Pemerintahan (Jero Gede), yang harus ada dalam lingkaran sengker empat pura.


Pura Dalem Tibung, Br Kaja, Dalung


Pada proses sejarah beberapa tahun kemudian konsep Pusat Pemerintahan mulai diwujudkan I Gusti Gede Tegeh dan I Gusti Gede Dauh dan I Gusti Ketut Dauh mulai melihat lokasi lebih baik (sekarang di Banjar Tegeh Dalung) tempat itu sekarang dikenal dengan Jero Gede Sedangkan adiknya yang pemade I Gusti Nengah Tegeh kemudian pergi dan tinggal di Tegaljaya. I Gusti Ketut Dauh memiliki banyak anak, ada yang tinggal di Banjar Lebak, ada juga yang tinggal di Cepaka.

Sumber: I Gusti Ngr Agung Eka Teja Kusuma, Dari Padangluah ke Dalung, Edisi Revisi.

Istilah dalloenk mulai terkenal pada akhir tahun 1970-an. Pada waktu itu anak muda yang suka berkreasi sengaja membuat kata itu untuk sedikit memberikan aksi dan gaya tentang desanya yang bernama Dalung. Jadi dalloenk sebenarnya istilah nama Desa Dalung yang di Inggris-kan agar menjadi keren. Rupanya keatifitas ini mulai berkembang dan terimajinasi dari semaraknya kaset tape yang bermerek billboard. Secara design sangat kentara kelihatan. Pada waktu itu kaset pita tape merek billboard mulai tenar yang sebagian besar isinya rekamannya adalah lagu-lagu barat yang mulai digandrungi oleh anak-anak muda yang sekolah SMA di Denpasar. Musik barat sangat identik dengan billboard sehingga agar Dalung yang kesannya udik terkesan kebarat-baratan maka dibuatlah Dalung menjadi dalloenk.

Istilah dalloenk menjadi terkenal sampai sekarang, dan kerap dipakai pada sablon baju kaos para pemuda dari desa Dalung. Secara komunal mereka mencetaknya. Ini berarti keterbukaan tentang penerimaan pedaraban baru dari dunia luar Dalung bahkan dari luar negeri, sudah mulai terjadi. Pada awal tahun 1979-an istilah globalisasi masih sangat langka bahkan sangat tidak terdengar. Tetapi penerapan dalam memakai nama dengan mengadopsi gaya billboard dalam bentuk dalloenk sudah menunjukan atau mengekpresikan adanya keterbukaan.

Kalau kita putar ke masa lalu pada sejarah Dalung, masyarakat Dalung merupakan masyarakat yang agak tertutup dari campur tangan asing. Maklum mereka (masyarakat Dalung) terutama kaum elite dinastynya sangat mencurigaai adanya intervensi kekuasaan asing. Pergolakan sejarah memang mewarnai sejarah Dalung sehingga membentuk karakter masyarakat seperti itu. Dalung bukanlah suatu desa yang memiliki keistimewaan dibandingkan dengans sebagian besar desa lainnya di Bali. Seperti Kuta yang memiliki pantai yang terkenal, tanah lot dengan obyek wisata Pura Tanah Lot, Ubud dengan obyek budaya dan panorama alam desa. Tetapi keunikannya adalah akibat dari proses benturan sejarah. Sehingga secara fisik luar tidak akan mampu mengungkap keistimeaan dan keunikan yang menarik. Tetapi jika dikaji secara mendalam maka semua obyek berupa pura sangat memiliki arti sejarah yang sangat memberikan cahaya terhadap terbentuknya Desa Dalung.

Itu semua tidak terlepas dari para pelaku-pelaku sejarah tentang berdirinya Desa Dalung, yang tergolong dalam elite dinasty-nya.

Untuk sementara saya coba untuk mengawali blog ini dengan sedikit memberikan arti mengapa blog ini memakai istilah dalloenk. Mungkin untuk berikutnya saya akan mencoba untuk menulis tentang sejarah Dalung. Dan saya sangat senang jika blog ini memberikan signyal umpan balik dari yang mau mencoba untuk memahami arti sebuah sejarah dan perkembangan peradaban, dan kita coba mulai dengan yang terkecil dari lingkungan Desa kita.