Senin, 20 Juli 2009

DALUNG DAN KOTA KABUPATEN BADUNG

Tiada masa kini tanpa restu masa lalu, dan tiada masa depan tanpa restu masa kini. Rupanya Orang Bali tidak mampu lepas dengan konsep mata rantai “kala” tersebut. Jika mau melompat ke depan mereka harus menarik ancang-ancang dari belakang. Hal ini pula sangat tercermin terjadi dengan penetapan nama kota Kabupaten Badung. Wilayah Kota tersebut adalah Mengwi, Gulingan, Mengwitani, Kapal, Lukluk, Sading, Sempidi, Abianbase dan Dalung.

Walaupun komunikasi ke Mengwi sempat tidak lancar, tetapi setelah tahun 1970-an, elite dynasty Dalung dengan Mengwi mulai kelihatan lebih baik. Pengelingsir Puri Mengwi mendem pedagingan di Pura Desa dan Puseh Dalung pada tahun 1970. kemudian pada tahun 2004 upacara ngenteg linggih kembali dilakukan di Pura Desa dan Puseh Dalung. Kembali pengelingsir puri Mengwi A.A Gede Agung mendem pedagingan. Bulan Mei 2006, pengelingsir Puri Mengwi, A A Agung Gede Agung medem pedagingan di Pura Dalem Tegal dalam acara ngenteg linggih. Pada bulan Oktober 2007 pengelingsir Puri Mengwi A A Gede Agung juga mendem pedagingan dan menanda tangani prasasti di Pura Dalem Sempua dalam upacara ngenteg linggih. Pada September 2008 kembali A A Agung Gede Agung melakukan mendem pedagingan di Pura Dalem Tibung Br Kaja Dalung dalam rangka upacara Ngenteg Linggih di pura tersebut.

Nampaknya jaman sudah mengarahkan, apa yang menjadi milik Mengwi pada masa lalu, akan kembali sebagai satu kesatuan. Salah satunya Dalung yang mengalami kekaburan mata rantai vertical pemerintahan masa sejarah Dalung, akhirnya tahun 2008 masuk dalam gabungan lingkaran Mengwi, walaupun dalam batas wilayah kota kabupaten. Sebenarnya berdasarkan fakta dan data dilapangan wilayah lokasi Pusat Pemerintahan Pemda Badung berada di wilayah Dalung. Tepatnya tanah yang dibebaskan tersebut adalah wilayah Subak Gaji, yang merupakan bagian dari wilayah Desa Dinas Dalung. Dalam sejarah sebagai wilayah panugraha I Gusti Agung Nyoman Alangkajeng (raja ke III Mengwi) kepada I Gusti Gede Meliling adalah sedauh Tukad Mati. Subak Gaji masuk di dalamnya. Oleh sebab itu Pusat Pemerintahan Pemda Badung ada di Dalung bukan di Sempidi. Tetapi pintu masuk ke Puspem dari wilayah Sempidi, menyeberang tukad Mati, seolah-olah Puspem tersebut di wilayah Sempidi.

Perekembangan selanjutnya adalah mengenai permasalahan nama kota. Para elite dynasty Mengwi, terutama Anak Agung Gede Agung lebih cenderung berdasarkan berbagai kajian. Dari hasil analisa berbagai sumber, kota kabupaten lebih tepat dinamakan dengan Mangupura yang berarti tempat yang indah menyejukan serta menawan hati selalu disinari oleh Ida Bhatara Luhur Puncak Mangu dan Luhur Uluwatu (Radar Bali: 7 Mei 2008). Walaupun masih dalam tahap usulan, nama kota tersebut menjadi pertimbangan pro kontra di anggota DPRD. Bahkan dalam sebuah harian (Koran) 13 Mei 2008 menyebutkan tokoh Puri Pemecutan A A N Putra Darmanugara mengusulkan Ibukota Badung adalah Badung. Bahkan dalam sebuah harian diberitakan usulan Bupati Badung tentang Mangupura sebagai ibu kota Kabupaten Badung, dengan tegas ditolak putra-putri Puri Agung Pemecutan. Para pewaris pendiri Kerajaan Badung ini melalui salah satu tokohnya Drs. AAN Putra Darmanuraga, menyatakan hal itu sebagai bentuk pemborosan sekaligus menunjukkan Bupati lupa akan sejarah. Tidak setuju dengan nama Mangupura, sebaliknya mengusulkan Bananapura. Jika diartikan secara harfiah, lanjut Darmanuraga, kata Mangupura dapat disamakan dengan Pura Pucak Mangu. Pada bagian ini, tidaklah etis bila kita menyamakan linggih Betara dengan linggih/rumah rakyat ataupun para pejabat pemerintahan. ''Kami mengusulkan nama Bandanapura. Ini sesuai dengan nama perintis Kerajaan Badung Ida Betara Lelangit Kyai Anglurah Bandana Badung. Kata ini juga berarti pengikat masyarakat dari berbagai unsur untuk mencapai suatu tujuan luhur (Bali Post, 13 Mei 2008). Anak Agung Gede Agung sebagai Bupati Badung, harus duduk bersama dengan Puri Pemecutan dalam menentukan nama Ibukota Badung (Radar Bali, 13 Mei 2008). Hal ini menunjukan, kuatnya kepentingan elite dynasty Badung terhadap eksistensi masa lalu.
Riak-riak konflik kepentingan masih membekas pada dua Puri tersebut. Tarik menarik kepentingan sejarah rupanya masih terjadi antara Badung dan Mengwi, seperti masa lalu yang mulai kelihatan abad 18-an. Istilah Mangupura sangat berkaitan dari nama lain Mengwi pada masa kejayaan kerajaan Mengwi. Hampir seluruh wilayah Kab Badung sekarang setelah pisah dengan kodya, merupakan wilayah kerajaan Mengwi. Oleh sebab itu munculnya istilah “Mangunpura” memberikan signyal kebangkitan Mengwi dengan penyatuan kembali wilayah yang pernah terpecah-pecah, terutama setelah kekalahan Mengwi terhadap Badung pada tahun 1891. Rupanya kondisi jaman mengarahkan Dalung yang merupakan wilayah kerajaan Mengwi pada masa lalu, yang lama terpental dari komunikasi induknya, mulai merapat kembali.

Seiring dengan berlangsungnya polemic nama Ibu Kota Kab Badung, yaitu Mangupura, pihak Puri Satriya (Puri Agung Denpasar), yaitu A.A. Bagus Suardika justru memandang sah-sah saja kalau A.A Gede Agung memberi nama Mangupura. Sikap kompremis Puri Agung Denpasar, memberikan gambaran usaha untuk menetralisir dampak sejarah Badung-Mengwi peristiwa 1891. Pihak Puri Agung Denpasar mengakui, bahwa perluasan kekuasaan Badung akibat pemberian Raja Mengwi, yaitu berupa Mas Kawin wilayah melalui perkawinan I Gusti Ayu Bongan (putri Raja Mengwi) dengan raja Badung Kiyai Anglurah Sakti Pemecutan. Luas wilayah itu meliputi wilayah dari Padangluah sampai ke Uluwatu, bahkan sampai ke Serangan. Ini merupakan ikatan sejarah antara Badung-Mengwi. Bahkan pada Pura Nambangan Badung dan Pura Pedarman Satria Denpasar terdapat pelinggih Ratu Istri Bongan. Dampak sejarah Badung-Mengwi akibat perang terbuka 1891 sudah terjadi perdamaian yaitu; adanya perkawinan yaitu Putra Raja Mengwi, I Gusti Ayu Sentak dengan keponakan Raja Denpasar I Gusti Ngurah Mayun (Radar Bali, 15 Mei 2008).

Nuansa sejarah masa lalu sangat sarat dalam pemberian nama kota Kabupaten Badung. Ada suatu kekawatiran tentang nama kota tersebut beraroma Mengwi sentries. Hal ini sah-sah saja karena Mengwi adalah pihak yang dianggap kalah perang pada tahun 1891 oleh Badung. Tetapi kalau dilihat dari kontribusi pembangunan wilayah yang menjadi kab. Badung sekarang pada jaman dahulu, nampaknya Mengwi lebih banyak mempersiapkan infrastruktur, seperti irigasi dan pertanian serta pengendalian perekonomian, walaupun akibat dinamika politik di kerajaan, membuat jalan roda pembangunan tersebut akhirnya mengalami gangguan. Puncak gangguan tersebut terjadi pada tahun 1891 akibat dari serangan Badung ke Mengwi berbentuk perang terbuka. Sebagai pihak pemenang para elite Badung lebih banyak disibukkan menduduki wilayah Mengwi, dengan cara aman, begitu pula dengan penguasaan sawah-sawah. Dan bagaimana menghadapi wabah bahaya penyakit kolera yang biasa terjadi akibat selesai perang. Tidak ada waktu untuk memikirkan mengembangkan pembangunan infrastruktur perekonomian yang digerakkan oleh roda agraris pertanian. Kemenangan Badung tidak membuat adanya perubahan. Bahkan tidak ada waktu untuk itu, karena terburu datangnya Belanda yang menyerang dari wilayah Timur (Sanur) pada tahun 1906, yang menyebabkan Badung mengalami kekalahan. Badung hanya menikmati kemenangan selama 15 (lima belas) tahun. Dan rentang waktu itu sangat sulit untuk dapat membangun suatu system yang mampu mensejahterakan masyarakat yang hidup dari pertanian.
Kemudian Pansus nama kota kabupaten Badung melakukan semiloka 25 Novemeber 2008 di Ruang Sidang DPRD Badung. Dihadiri oleh 317 orang dari unsur DPRD Badung, Pemkab Badung, mantan pejabat Badung, tokoh masyarakat, tokoh puri, Majelis Madya Desa Pekraman (MMDP) dan PHDI Badung, intelektual, tim ahli, generasi muda, wanita, bendesa adat dan kepala desa/lurah. Dari tujuh nama ibu kota yang diusulkan, ada dua nama yang mengerucut yakni Mangupura dan Badung. Namun hampir 99% dari peserta sepakat memilih nama Mangupura, sisanya memilih nama Badung. Nama-nama yang lain akan tetap dicatat dalam sejarah/historis nama Ibu Kota Kabupaten Badung.
Semenjak itu, polemik tentang kata Mangupura sebagai nama kota kabupaten Badung kemudian sepi. Tetapi ketika polemic tidak ada, entah apa motivasinya, seseorang sengaja membuat sebuah blog dengan judul Mangupura dot com, yang berisi gambar-gambar wanita cantik setengah bugil http://www.mangupura.blogspot.com/. Ada apa ini?

Tulisan ini diadopsi dari: Agung Teja Kusuma, Dari Padangluah ke Dalung, Edisi Evisi, hal 267-273.

1 komentar: