Minggu, 12 Juli 2009

Eksistensi Elite Dinasty Dalung

Istilah elite dinasti mulai saya kenal melalui tulisan Albert Wijaja, Budaya Politik dan pembangunan Ekonomi. Pada sebuah tatanan masyarakat para elite biasanya sangat memegang peranan penting. Untuk masyarakat yang masih transisi menuju measyarakat yang lebih maju, keterkaitan elite dinasty tidak dapat terlepas pada proses perubahan tersebut. Lalu bagaimana dengan proses perbahan di Dalung?
Kemononjolan pigur-pigur yang berpengaruh dalam keluarga besar I Gusti Gede Tegeh I , hampir seimbang. Artinya; ketersebaran mereka meliputi wakil secara informal dari masing-masing kelompok keluarga sub-keluarga besar I Gusti Gede Tegeh I, yang dikenal dengan system pos dan sub pos. Bahkan pergolakan sering terjadi yang mewarnai dinamika social di Dalung sering diakibatkan oleh kekuatan tarik menarik diantara mereka. Ketidak kompakan mereka mempengaruhi perpecahan masyarakat Dalung. Walaupun demikian peranan mereka untuk membentuk strutur Dalung dan menjaga tradisi sangat tidak dapat diragukan lagi. Mereka ada dalam posisi strategis yang mampu mempengaruhi pengambilan keputusan, bahkan arah gerakan dan menciptakan momentum sejarah pada masa lalu tidak terlepas dari sikap mereka. Kelompok pigur-pigur elite strategis ini dikenal dengan Elite Dinasti.
Peranan elite dynasty
Elite dinasti memegang peranan penting. Bahkan gerak proses sejarah sangat dipangaruhi oleh kalangan ini. Lebih-lebih dalam pengambilan keputusan pemerintahan. Begitu pula pada masa-masa selanjutnya (jaman republik) berkembang pemikiran tentang hirarki kawitan (baca; bagian sebelumnya), seperti Mengwi kemudian berkembang lagi menuju Gelgel, walaupun hanya terdiri dari sebagian kecil saja.
Sistem pemerintahan di Dalung (sebelum kemerdekaan RI) tidaklah seperti yang dibayangkan dalam cerita kerajaan secara klasik yaitu; keputusan mutlak di tangan satu penguasa. Jauh dari bayangan tersebut kita bisa lihat bahwa peranan keluarga melalui elite-elite dinastinya sebagai pengendalian kekuasaan cukup dominant. Bahkan berbagai keputusan penting juga lahir dari elite ini, seperti keputusan perang Tibubeneng pada sejarah Dalung dimana pigur I Gusti Nyoman Rai lebih kelihatan dari sang penguasa yang dikenal dengan istilah moncol. Ini mengisyatkan demokrasi sesuai dengan syarat iklim pada jaman itu telah tumbuh dan berkembang. Kebersamaan menjadi penting. Terutama dalam proses pengambilan keputusan penetapan tujuan dan proses pencapaian tujuan. Kebersamaan diekpresikan dengan kehadiran seluruh elite dinasti tesebut. Pergolakan dapat terjadi ketika terjadinya pengingkaran terhadap “kebersamaan” tersebut. Klik-klik yang bersifat mendiskritkan satu beberapa elite dinasti bisa saja terjadi, karena adanya upaya dan kepentingan tertentu secara individual dan pemanfaatan keadaan. Biasanya diwujudkan dalam kegiatan paruman dengan sengaja tidak menyampaikan informasi untuk kehadiran dalam parum penting. Keadaan ini merupakan salah satu bentuk dari pengingkaran terhadap “kebersamaan”, dampaknya “riak-riak” reaktif. Bentuk penyampiannya bisa berbentuk secara terbuka, atau tertutup dalam pengertian selektif hanya pada batas sub pos keluarga. Sedangkan penyampian secara terbuka, dilakukan secara langsung bahkan di dalam pertemuan parum melalui protes dan kritikan.
Pusat-pusat kekuatan strategis pada struktur masyarakat Dalung seperti lembaga-lembaga yang ada, di pegang oleh para elite dinasti. Dan kondisi itu secara optimal sampai dengan tahun 1990-an. Sebagai ciri khas elite dinasti secara umum, mereka sangat mempertahankan tradisi, mereka menutup kran-keran aliran pengaruh asing yang negative hal terjadi terhadap Dalung. Mereka sibuk dengan urusan social masyarakat. Rupanya tidak ada sikap atau kebijakan yang langgeng, kondisi jaman akhirnya memaksa mereka untuk menerima kenyataan masuknya pendatang dalam jumlah besar secara spontan melalui Perumahan Dalung Permai sebagai keran terbuka mengucurnya sifat social masyarakat dari luar, menyimpan berbagai permasalahan, dan perubahan social yang mengikis struktur Dalung yang telah dibangun dari proses sejarah diwujudkan dengan sengker empat pura. Rupanya para elite dynasty juga tidak mampu untuk menghadapi gerakan putaran jaman dalam bentuk hukum pasar yang telah menyerbu Dalung melalui investasi perumahan, lengkap dengan dampak social budaya yang menyertainya. Apa yang diwariskan oleh leluhurnya untuk menjaga Dalung dari kran pendatang yang tidak sehat sedikit demi sedikit melunak cair, dalam wadah penyesuaian diri. Dari permasalahan ekonomi, dan kemudian mendapatkan dirinya harus bersaing secara politik dengan para pigur-pigur baru sebagai pendatang dalam sebuah percaturan pengaruh. Hal ini sangat jelas kelihatan ketika berlangsungnya Pilkada dan Pilcaleg dengan system multi partai di tahun 2009.
Karakter elite dinasty
Lebih jauh dengan kaum elite dynasty di Dalung, ternyata mereka terdiri dari sifat dan karakter yang berbeda-beda. Klasifikasi karakter elite dinasti yang pertama, lebih mengutamakan usaha pemeliharaan tradisi dan kemapanan yang telah terjaga dengan baik. Gaya selektif dengan ketat, terhadap perubahan. Karena dilatarbelangi dengan upaya menjaga kemapanan tersebut, sikap mereka menjadi tidak mudah memberikan kepercayaan kepada orang lain lebih-lebih pada masalah kepemimpinan. Kecendrungan mereka jika sebagai pemimpin lebih berorientasi pada penyelesaian tugas (pencapaian tujuan) dari pada pemeliharaan hubungan. Sangat procedural. Selain itu terdapat juga elite dinastik yang tradisional klasik yang menentang setiap perubahan, kekuatiran mereka cukup berlebihan jika terjadi krisis social dan moral. Walaupun demikian terdapat juga elite dinastik yang moderat. Sikap mereka realistis, memandang perlu adanya perubahan atau pembahauran, dan menyesuaikan kebijaksanaan padanya. Tetapi sifat intinya untuk mempertahankan tradisi tetap melekat. Bedanya, penyesuaian kebijaksanaan dengan pembaharuan seiring dengan memelihara tradisi. Terakhir, terdapat juga elite dinastik yang disfungsional. Sikapnya lebih menuruti nafsu, ambisius terhadap pengaruh dan kekuasaan, provokatif-membenturkan bentuk kekutan-kekuatan, individualistis, materialistis, tidak mau memelihara norma dan tradisi, menghindari resiko, terutama keputusan yang mengandung resiko terhadap eksistensinya di lingkungan sosial masyarakat, dampaknya upaya pemecahan masalah dan penyelelesaian tugas menjadi terhambat.
Latar pendidikan, pergaulan komunikasi atau tingkat interaksi social mereka melahirkan perbedaan. Keberbedaan ini mempengaruhi pola pikir, gaya hidup dan pandangan mereka tentang bentuk tatanan masyarakat masa depan atau bentuk perubahan, serta eksistensi “keluarga” pada masa yang akan datang ditengah-tengah perubahan lingkungan yang sangat cepat. Masa depan menjadi terjadi terlalu dini. Akhirnya banyak dari mereka “merasa terasing” dengan masa kini, karena masa depan tanpa disadari sudah mulai terjadi pada masa sekarang.
Dalam kenyataan ini, terdapat dua bentuk reaksi elite dinastik, pertama, tidak terlalu banyak memikirkan masa depan tetapi lebih memikirkan masa kini. Reaksi kedua, yang merasa tidak puas dan kecewa dengan masa kini, akan sangat merindukan perubahan masa depan. Terjadi kepincangan jika tidak terdapat keseimbangan pola pikir antara masa kini dan masa depan. Kaum elite dinastik yang hanya memikirkan masa kini dan hanya terikat dengan berbagai persoalan sekarang, ia tidak akan mampu menjawab persoalan masa depan. Sebaliknya jika ia hanya orientasi ke masa depan maka ia tidak mampu mengatasi masa kini. Dalam gejolak tersebut, terdapat pemikiran idial masa depan adalah kehadiran kembali keadaan idial masa lampau, diistilahkan dengan nativisme yaitu; keinginan yang kuat untuk mengembalikan masa lampau yang jaya. (Frank E Manuel, dalam Albert Wijaja, 1982)
Iklim individualistic sudah berkembang seiring dengan masuk derasnya aliran kapitalis, melalui roda industrialisasi. Pada prosesnya terjadi pergeseran tentang arti “kebersamaan” yang telah diterjemahkan dalam “hati sanubari” masing-masing pada masa lalu ketika keadaan masih digerakan roda agraris. Bahkan arti dari kekuasaan menjadi bergeser ke arah materialistis. Oleh sebab itu para elite dynasty terpacu mengejar materi dan posisi di lembaga-lembaga pemerintah dan swasta. Bentuk ancaman bukan lagi berupa perkembangan kerajaan tentangga, tetapi keterbelakangan dan kemiskinan. Oleh sebab itu pembentukan Sumber Daya Manusia menjadi ciri penting bagi para elite dynasty pada masa tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar