Rabu, 15 Juli 2009

Dauh Tukad Mati Tadtadan ke Badung dan Perkembangan Kuta

Catatan panglingsir (tetua) Puri Agung Denpasar Ida Cokorda Mayun Samirana pada sebuah situs Parisada menyatakan bahwa Dalung termasuk tadtadan ke Badung pada waktu pernikahan I Gusti Ayu Bongan (Putri Mengwi) rasanya perlu diluruskan. Karena pada masa perkawinan I Gusti Ayu Bongan ketika terjadi keputusan tadtadan tersebut Dalung belum berdiri (belum ada). Pada waktu itu yang ada adalah wilayah Padangluah. Sedangkan Dalung mulai ada sekitar tahun 1823-1825 M. Sehingga Dalung yang berada dauh Tukad Yeh Poh tidak termasuk dalam Tadtadan tersebut. Pernikahan tersebut terjadi pada waktu I Gusti Gede Meliling berkuasa di Padangluah, bahkan ikut dipanggil ke Mengwi untuk diminta persetujuannya oleh Maha Raja Mengwi. Keputusan itu memang dari I Gusti Ayu Oka sebagai Natheng Wadu Raja Mengwi tahun 1780-1807 Masehi. Menurut saya Dalung yang didirikan oleh Putra-Putra I Gusti Gede Tibung (baca Sejarah berdirinya Dalung pada blog ini) Dauh Tukad Yeh Poh tidak termasuk tadtadan ke Badung.

Ruapanya dari sekian peristiwa yang tercatat dalam sejarah semenjak I Gusti Ayu Oka sebagai Sri Ratu di Mengwi terlalu tergesa-gesa. peristiwa akibat keputusan dari pernikahan I Gusti Ayu Bongan sangat memberikan pengaruh signifikan terhadap Padangluah mengapa?.
Awalnya bermula dari I Gusti Ngurah Gede Oka, putra dari I Gusti Ngurah Jambe Pemecutan, Badung datang mengabdi kepada baginda ratu di Mengwi. Pengabdian yang bernuana politis ini akhirnya memberikan hasil yaitu; baginda ratu menikahkan I Gusti Ngurah Gede Oka (cucu dari I Gusti Ngurah Pucangan ) dengan I Gusti Ayu Bongan beribu I Gusti Tegeh Kori. Perkawinan ini metadtadan wilayah disebelah Barat sungai Mati, utaranya Nalu, Jagi, selatannya Jimbaran sampai dengan Huluwatu. Mengingat hampir sebagian besar wilayah yang dijadikan tadtadan I Gusti Ayu Bongan tersebut merupakan wilayah dipercayakan kepada I Gusti Gede Meliling atas panugraha I Gusti Agung Nyoman Alangkajeng Raja III Mengwi, maka I Gusti Agung Putu Agung sebagai Raja Mengwi ke VI memanggil I Gusti Gede Meliling di Padangluah untuk menghadap ke Puri Mengwi. I Gusti Gede Meliling tidak berani menolak perintah I Gusti Agung Putu Agung untuk menjadi tadtadan I Gusti Ayu Bongan. Walaupun demikian I Gusti Ayu Bongan menolak metadtadan rakyat begitu banyak. Beliau teringat akan kesalahan pada waktu beliau diminta pada kakaknya diberikan wilayah Kerobokan. Perkawinan ini memberikan makna penting bagi awal mulai berkembangnya kerajaan Badung yang kemudian pada masa sejarah berikutnya justru menjadi kekuatan yang menentang Mengwi. Pada masa dimulainya usaha untuk memisahkan diri dengan Mengwi dan mulai bangkit untuk intervensi, wilayah perbatasan kerajaan Negara Mengwi Selatan yang dikendalikan oleh putra-putra Meliling, seperti Padangluah, Kerobokan, mendapat intervensi pertama. Pada masa pemerintahan I Gusti Gede Meliling di wilayah sedauh Tukad Mati, dengan hak kemudahan yang diberikan oleh Maha Raja Mengwi ke III, salah satunya jika mau memperluas kekuasaan ke selatan (Jimbaran, Uluwatu, dan Kuta) itu sah-sah saja, karena wilayah tersebut memang untuk I Gusti Gede Meliling. Hal ini menjadi kurang menguntungkan bagi Badung, ditambah I Gusti Gede Meliling memiliki pengaruh yang begitu besar di wilayah Bali selatan (sedauh Tukad Mati). Kekuatiran ini dapat dimengerti, karena I Gusti Gede Meliling dapat saja menggunakan peluang ini untuk memperluas kekuasaan ke wilayah Badung. usaha Badung selanjutnya untuk mengatasi hal tersebut, melakukan pendekatan hubungan dengan Mengwi.

Manuper Mengwi adalah Untuk memperkuatnya dilakukan peningkatan hubungan dengan Badung melalui perkawinan I Gusti Ayu Bongan. Dengan demikian Badung masih dalam kendali Mengwi. Tetapi Tidak terpikirkan oleh I Gusti Ayu Oka tentang keputusan pernikahan ini membawa dampak pada hubungan pengendalian secara langsung jangka panjang untuk wilayah selatan, juga putusnya atau hilangnya jaringan niskala antara selatan (segara) dan pusat (gunung) dalam hal ini poros niskala Pura Ulun Siwi (Jimbaran) yang sangat penting bagi pertanian. Walaupun wilayah ini sebagian besar merupakan daerah yang sangat tandus, tetapi keberadaan Pura-Pura penting yang memiliki makna kesejahteraan dan kemakmuran ini dari sisi keyakinan niskala tidak dapat diukur dengan bentuk sekala tandusnya tanah yang ada di lingkungan ini. Ketidak lancaran ritual akhirnya terbukti begitu hubungan Badung-Mengwi menjadi tidak baik, akses yadnya (ritual) Pura selatan ini menjadi terlepas. Begitu pula dengan Pura Uluwatu. Benteng kekuatan niskala mengwi menjadi berkurang, baik dari sisi kesejahteraan pertanian dan pertahanan dan keamanan. Badung telah menguasai wilayah selatan tersebut. Dampaknya sangat terbukti memberikan kekuatan kesejahteraan dan kekuatan terhadap Badung. Semenjak memegang Pura-Pura penting tersebut, Badung yang tadinya merupakan wilayah lebih kecil dari Mengwi akhirnya mulai menampakkan kekuatannya, untuk berkembang. Akhirnya dalam proses sejarah menjadi ancaman yang begitu serius bagi Mengwi.

Perkembangan Kuta
Semenjak pernikahan Putra Badung dengan I Gusti Ayo Bongan, aktivitas Sedauh Tukad Mati mulai ramai dilakukan oleh Badung. Bahkan di Kuta yang dulunya sebagai wilayah pelabuhan dan perdagangan, mulai dimanfaatkan untuk kegiatan politik. Salah satu transaksi yang ramai pada abad 18-an di Kuta adalah transaksi budak untuk prajurit Belanda. Memang Belanda memerlukan banyak orang untuk prajuritnya untuk tingkat bintara. Dari catatan tahun 1830, terlihat perbandingan jumlah perwira, bintara serta prajurit antara bangsa Eropa dan pribumi dalam dinas ketentaraan Belanda. Di tingkat perwira, jumlah pribumi hanya sekitar 5% dari seluruh perwira; sedangkan di tingkat bintara dan prajurit, jumlah orang pribumi lebih banyak daripada jumlah bintara dan prajurit orang Eropa, yaitu sekitar 60%. Kekuatan tentara Belanda tahun 1830, setelah selesai Perang Diponegoro adalah 603 perwira bangsa Eropa, 37 perwira pribumi, 5.699 bintara dan prajurit bangsa Eropa, 7.206 bintara dan prajurit pribumi (Markus Vink: 2003).
Tahun 1808 pemerintah Belanda mengirim utusan pertama kali ke Bali, mendarat di Kuta menggunakan Kuta sebagai tempat diplomasi untuk melakukan hubungan politik dengan Raja-Raja di Bali, kemudian mencari calon prajurit untuk dibawa ke Jawa, tetapi tujuan ini gagal. Banyak Raja-Raja yang tidak siap, dan hanya Badung yang siap melakukan kontrak (Utrecht, 1962; 147 - 149, dalam Agung, 1998; 13) Kegiatan untuk memperoleh prajurit dari Belanda dengan Raja Badung berlangsung sampai tahun 1838. Enam tahun menjelang tahun 1824, Pemerintah Belanda mengirim wakil mereka bernama Said Hasan Al Habeschi untuk melaksanakan kesepakatan tentang sewa perbudakan untuk dijadikan prajurit. Delegasi ini gagal melakukan perundingan dengan Raja-Raja di Bali. Kemudian Pemerintah Belanda mengirim kembali kapten mereka bernama JS Wetters ke Kuta pada 1826. Terjadilah kegelisahan pada masyarakat karena masalah mencari calon prajurit untuk jangka panjang mempengaruhi situasi perdagangan pada waktu itu (Hoenel, 1854; 11, dalam, 1998; 13). Perkembangan selanjutnya Kuta tidak lagi dapat dikendalikan, dan yang terburuk Kuta menjadi banyak persembunyian penyelunduk apiun ke Jawa. Akibat kebijaksanaan Raja Badung memberikan kelonggaran izin, kuta menjadi semakin berkembang. Pada tanggal 1 Agustus 1839 Nederlandsche Handel Maatsschappiy (NHM) merupakan perusahaan perdagagangan Belanda mulai melakukan kegiatan di Kuta. Transaksi perdagangan menggunakan uang kepeng China, uang Spanyol bernama Piaster dan uang perak Belanda (Putu Rumawan Salain: Kuta from Traditional Village Towards Multi Ethnic City, Architecture Department, Faculty of Engineering Udayana University – Bali).
Dari gambaran tersebut berarti Kuta bukan lagi sebagai wilayah perdagangan tetapi juga aktivitas politik hubungan luar negeri Kerajaan Badung. Laporan Secara domografis tahun 1831, Kuta terdiri dari multi ethnis. Terdiri dari 400 keluarga Bali dan Bugis, dan 40 orang China.
Sebenarnya orang yang ikut berjasa sehingga Kuta menjadi semakin ramai pada abad ke 18 adalah Mads Johansen Lange, (lahir di Rudkobing, Denmark, 18 Sepetember – wafat di Kuta Bali 13 Mei 1856 pada umur 48 tahun) ialah seorang pedagang dan Juru Damai berkebangsaan Denmark di Bali, yang dianugerahi Orde Singa Belanda, dan menerima medali emas dari pemerintah Denmark atas pencapaiannya. Atas jasanya, Kuta berkembang sebagai kawasan perdagangan international pada awal abad ke 19 atau akhir abad 18. Ia biasa dijuluki Raja Bali (Kongen af Bali). Mulai tahun 1839 tinggal di Kuta sebagai pedagang. Pada tahun 1844, Lange diangkat sebagai agen resmi pemerintahan Hindia Belanda, mengingat hubungan pribadinya yang erat dengan masyarakat Bali kelas atas dan juga koneksi dagangnya. Namun, peran barunya hanya bersifat tipu muslihat karena saat itu Belanda sedang menyerang Bali utara dan memblokade jalur laut di selatan. Atas usahanya, Lange dapat mempertemukan Bali dan Belanda di meja perundingan. Setelah penandatanganan perjanjian tersebut, diadakan pesta besar di rumah Lange yang dihadiri oleh 30.000 orang. Pada tahun 1856, Lange sakit dan mohon pensiun, serta memutuskan untuk kembali ke Denmark, namun sayang dia meninggal pada saat kapal yang akan ditumpangi akan berangkat dan akhirnya dia dikubur di Kuta. Untuk memperingati Lange, sebuah jalan di Kuta dinamai Tuan Langa (situs Wikipedia).

Demikianlah sekilas tentang Kuta yang berkembang pada abad 18-an merupakan salah satu dari wilayah Mengwi yang lepas. Tidak seorangpun menyangka pada saat keputusan untuk dijadikan tadtadan pernikahan I Gusti Ayu Bongan ke Badung, Kuta yang merupakan wilayah yang gersang dan sebagaian terdiri dari hutan dikenal dengan istilah Mimba, manjadi begitu berkembang kemudian. Walaupun diatas tahun 1843 Kuta kemudian mulai kehilangan pamornya, akibat dari kurang dukungan dari permerintah local, dan perkembangan pelabuhan lain seperti Padang Bai, Bali Timur, Bali Utara, juga Pelabuhan Buleleng. Pusat perkembangan di Bali selatan menjadi berkurang. Dampak dari perubahan yang tidak baik ini, menyebabkan pemasukan untuk Badung menjadi berkurang. Akibatnya strategi baru harus dikembangkan untuk perubahan dan kemakmuran kerajaan jangka panjang, yaitu memperoleh akses pertanian, ini berarti diperlukan ekpansi.

Berkembangnya konflik tidak langsung (perang dingin ) antara Badung dan Mengwi menyebabkan Padangluah menjadi wilayah yang secara politis menjadi terjepit. Konflik diantara kerajaan-kerajaan kecil sebagai satelit Meliling sering terjadi. Seperti Masalah internal Kerobokan, Penyerangan Tibubeneng dipimpin I Gusti Gede Mangku ke Padangluah, kemudian terakhir hancurnya Tibubeneng akibat serangan I Gusti Nyoman Rai dari Dalung. Konflik tersebut adalah konflik kekuasaan diantara keturunan I Gusti Gede Meliling di wilayah selatan Negara Mengwi. Karena diantara mereka saling mencurigai dan terjadinya sikap saling berstrategi. Dampaknya benteng selatan Mengwi menjadi rapuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar