Senin, 20 Juli 2009

DALUNG DAN KOTA KABUPATEN BADUNG

Tiada masa kini tanpa restu masa lalu, dan tiada masa depan tanpa restu masa kini. Rupanya Orang Bali tidak mampu lepas dengan konsep mata rantai “kala” tersebut. Jika mau melompat ke depan mereka harus menarik ancang-ancang dari belakang. Hal ini pula sangat tercermin terjadi dengan penetapan nama kota Kabupaten Badung. Wilayah Kota tersebut adalah Mengwi, Gulingan, Mengwitani, Kapal, Lukluk, Sading, Sempidi, Abianbase dan Dalung.

Walaupun komunikasi ke Mengwi sempat tidak lancar, tetapi setelah tahun 1970-an, elite dynasty Dalung dengan Mengwi mulai kelihatan lebih baik. Pengelingsir Puri Mengwi mendem pedagingan di Pura Desa dan Puseh Dalung pada tahun 1970. kemudian pada tahun 2004 upacara ngenteg linggih kembali dilakukan di Pura Desa dan Puseh Dalung. Kembali pengelingsir puri Mengwi A.A Gede Agung mendem pedagingan. Bulan Mei 2006, pengelingsir Puri Mengwi, A A Agung Gede Agung medem pedagingan di Pura Dalem Tegal dalam acara ngenteg linggih. Pada bulan Oktober 2007 pengelingsir Puri Mengwi A A Gede Agung juga mendem pedagingan dan menanda tangani prasasti di Pura Dalem Sempua dalam upacara ngenteg linggih. Pada September 2008 kembali A A Agung Gede Agung melakukan mendem pedagingan di Pura Dalem Tibung Br Kaja Dalung dalam rangka upacara Ngenteg Linggih di pura tersebut.

Nampaknya jaman sudah mengarahkan, apa yang menjadi milik Mengwi pada masa lalu, akan kembali sebagai satu kesatuan. Salah satunya Dalung yang mengalami kekaburan mata rantai vertical pemerintahan masa sejarah Dalung, akhirnya tahun 2008 masuk dalam gabungan lingkaran Mengwi, walaupun dalam batas wilayah kota kabupaten. Sebenarnya berdasarkan fakta dan data dilapangan wilayah lokasi Pusat Pemerintahan Pemda Badung berada di wilayah Dalung. Tepatnya tanah yang dibebaskan tersebut adalah wilayah Subak Gaji, yang merupakan bagian dari wilayah Desa Dinas Dalung. Dalam sejarah sebagai wilayah panugraha I Gusti Agung Nyoman Alangkajeng (raja ke III Mengwi) kepada I Gusti Gede Meliling adalah sedauh Tukad Mati. Subak Gaji masuk di dalamnya. Oleh sebab itu Pusat Pemerintahan Pemda Badung ada di Dalung bukan di Sempidi. Tetapi pintu masuk ke Puspem dari wilayah Sempidi, menyeberang tukad Mati, seolah-olah Puspem tersebut di wilayah Sempidi.

Perekembangan selanjutnya adalah mengenai permasalahan nama kota. Para elite dynasty Mengwi, terutama Anak Agung Gede Agung lebih cenderung berdasarkan berbagai kajian. Dari hasil analisa berbagai sumber, kota kabupaten lebih tepat dinamakan dengan Mangupura yang berarti tempat yang indah menyejukan serta menawan hati selalu disinari oleh Ida Bhatara Luhur Puncak Mangu dan Luhur Uluwatu (Radar Bali: 7 Mei 2008). Walaupun masih dalam tahap usulan, nama kota tersebut menjadi pertimbangan pro kontra di anggota DPRD. Bahkan dalam sebuah harian (Koran) 13 Mei 2008 menyebutkan tokoh Puri Pemecutan A A N Putra Darmanugara mengusulkan Ibukota Badung adalah Badung. Bahkan dalam sebuah harian diberitakan usulan Bupati Badung tentang Mangupura sebagai ibu kota Kabupaten Badung, dengan tegas ditolak putra-putri Puri Agung Pemecutan. Para pewaris pendiri Kerajaan Badung ini melalui salah satu tokohnya Drs. AAN Putra Darmanuraga, menyatakan hal itu sebagai bentuk pemborosan sekaligus menunjukkan Bupati lupa akan sejarah. Tidak setuju dengan nama Mangupura, sebaliknya mengusulkan Bananapura. Jika diartikan secara harfiah, lanjut Darmanuraga, kata Mangupura dapat disamakan dengan Pura Pucak Mangu. Pada bagian ini, tidaklah etis bila kita menyamakan linggih Betara dengan linggih/rumah rakyat ataupun para pejabat pemerintahan. ''Kami mengusulkan nama Bandanapura. Ini sesuai dengan nama perintis Kerajaan Badung Ida Betara Lelangit Kyai Anglurah Bandana Badung. Kata ini juga berarti pengikat masyarakat dari berbagai unsur untuk mencapai suatu tujuan luhur (Bali Post, 13 Mei 2008). Anak Agung Gede Agung sebagai Bupati Badung, harus duduk bersama dengan Puri Pemecutan dalam menentukan nama Ibukota Badung (Radar Bali, 13 Mei 2008). Hal ini menunjukan, kuatnya kepentingan elite dynasty Badung terhadap eksistensi masa lalu.
Riak-riak konflik kepentingan masih membekas pada dua Puri tersebut. Tarik menarik kepentingan sejarah rupanya masih terjadi antara Badung dan Mengwi, seperti masa lalu yang mulai kelihatan abad 18-an. Istilah Mangupura sangat berkaitan dari nama lain Mengwi pada masa kejayaan kerajaan Mengwi. Hampir seluruh wilayah Kab Badung sekarang setelah pisah dengan kodya, merupakan wilayah kerajaan Mengwi. Oleh sebab itu munculnya istilah “Mangunpura” memberikan signyal kebangkitan Mengwi dengan penyatuan kembali wilayah yang pernah terpecah-pecah, terutama setelah kekalahan Mengwi terhadap Badung pada tahun 1891. Rupanya kondisi jaman mengarahkan Dalung yang merupakan wilayah kerajaan Mengwi pada masa lalu, yang lama terpental dari komunikasi induknya, mulai merapat kembali.

Seiring dengan berlangsungnya polemic nama Ibu Kota Kab Badung, yaitu Mangupura, pihak Puri Satriya (Puri Agung Denpasar), yaitu A.A. Bagus Suardika justru memandang sah-sah saja kalau A.A Gede Agung memberi nama Mangupura. Sikap kompremis Puri Agung Denpasar, memberikan gambaran usaha untuk menetralisir dampak sejarah Badung-Mengwi peristiwa 1891. Pihak Puri Agung Denpasar mengakui, bahwa perluasan kekuasaan Badung akibat pemberian Raja Mengwi, yaitu berupa Mas Kawin wilayah melalui perkawinan I Gusti Ayu Bongan (putri Raja Mengwi) dengan raja Badung Kiyai Anglurah Sakti Pemecutan. Luas wilayah itu meliputi wilayah dari Padangluah sampai ke Uluwatu, bahkan sampai ke Serangan. Ini merupakan ikatan sejarah antara Badung-Mengwi. Bahkan pada Pura Nambangan Badung dan Pura Pedarman Satria Denpasar terdapat pelinggih Ratu Istri Bongan. Dampak sejarah Badung-Mengwi akibat perang terbuka 1891 sudah terjadi perdamaian yaitu; adanya perkawinan yaitu Putra Raja Mengwi, I Gusti Ayu Sentak dengan keponakan Raja Denpasar I Gusti Ngurah Mayun (Radar Bali, 15 Mei 2008).

Nuansa sejarah masa lalu sangat sarat dalam pemberian nama kota Kabupaten Badung. Ada suatu kekawatiran tentang nama kota tersebut beraroma Mengwi sentries. Hal ini sah-sah saja karena Mengwi adalah pihak yang dianggap kalah perang pada tahun 1891 oleh Badung. Tetapi kalau dilihat dari kontribusi pembangunan wilayah yang menjadi kab. Badung sekarang pada jaman dahulu, nampaknya Mengwi lebih banyak mempersiapkan infrastruktur, seperti irigasi dan pertanian serta pengendalian perekonomian, walaupun akibat dinamika politik di kerajaan, membuat jalan roda pembangunan tersebut akhirnya mengalami gangguan. Puncak gangguan tersebut terjadi pada tahun 1891 akibat dari serangan Badung ke Mengwi berbentuk perang terbuka. Sebagai pihak pemenang para elite Badung lebih banyak disibukkan menduduki wilayah Mengwi, dengan cara aman, begitu pula dengan penguasaan sawah-sawah. Dan bagaimana menghadapi wabah bahaya penyakit kolera yang biasa terjadi akibat selesai perang. Tidak ada waktu untuk memikirkan mengembangkan pembangunan infrastruktur perekonomian yang digerakkan oleh roda agraris pertanian. Kemenangan Badung tidak membuat adanya perubahan. Bahkan tidak ada waktu untuk itu, karena terburu datangnya Belanda yang menyerang dari wilayah Timur (Sanur) pada tahun 1906, yang menyebabkan Badung mengalami kekalahan. Badung hanya menikmati kemenangan selama 15 (lima belas) tahun. Dan rentang waktu itu sangat sulit untuk dapat membangun suatu system yang mampu mensejahterakan masyarakat yang hidup dari pertanian.
Kemudian Pansus nama kota kabupaten Badung melakukan semiloka 25 Novemeber 2008 di Ruang Sidang DPRD Badung. Dihadiri oleh 317 orang dari unsur DPRD Badung, Pemkab Badung, mantan pejabat Badung, tokoh masyarakat, tokoh puri, Majelis Madya Desa Pekraman (MMDP) dan PHDI Badung, intelektual, tim ahli, generasi muda, wanita, bendesa adat dan kepala desa/lurah. Dari tujuh nama ibu kota yang diusulkan, ada dua nama yang mengerucut yakni Mangupura dan Badung. Namun hampir 99% dari peserta sepakat memilih nama Mangupura, sisanya memilih nama Badung. Nama-nama yang lain akan tetap dicatat dalam sejarah/historis nama Ibu Kota Kabupaten Badung.
Semenjak itu, polemik tentang kata Mangupura sebagai nama kota kabupaten Badung kemudian sepi. Tetapi ketika polemic tidak ada, entah apa motivasinya, seseorang sengaja membuat sebuah blog dengan judul Mangupura dot com, yang berisi gambar-gambar wanita cantik setengah bugil http://www.mangupura.blogspot.com/. Ada apa ini?

Tulisan ini diadopsi dari: Agung Teja Kusuma, Dari Padangluah ke Dalung, Edisi Evisi, hal 267-273.

Minggu, 19 Juli 2009

ANTARA MENGWI DAN BADUNG

Nama Saya Agung Teja. Saya lahir di Dalung 11 Juni 1967. Sebuah Desa yang kira-kira menurut perkiraan saya berdiri awal abad 18-an. Desa saya masih tergolong muda dibandingkan dengan Desa-Desa tetangganya, di Utaranya Desa Abianbase kecamatan Mengwi, Barat Desa Buduk Kecamatan Mengwi, Selatannya adalah Desa Tibubeneng kecamatan Kuta Utara, dan Sebelah timurnya adalah Desa Padangluih (dulu dikenal dengan Padangluah) kecamatan Kuta.



Diadopsi Dari : Sumber diadopsi dari Henk Schulte Nordholt: 2006:




Dilihat dari posisi geografis tersebut Dalung merupakan perbatasan antara Kecamatan Mengwi dan Kuta tetapi semuanya masih dalam satu Kabupaten Badung, Bali. Dari posisi letak geografisnya sebenarnya Dalung lebih cocok masuk Kecamatan Mengwi, logikanyanya adalah, jaman dahulu sungai adalah batas suatu wilayah. Kebetulan Dalung berada di wilayah sebelah Barat Sungai Yeh Poh. secara geografis Sedauh Tukad Yeh Poh sebenarnya wilayah Mengwi. Akibat adanya perang Tibubeneng yang menyebabkan hancurnya Tibubeneng, menyebabkan menjadi wilayah yang terpisah dengan Mengwi. Perang Tibubeneng sebenarnya perseteruan keluarga antara I Gusti Nyoman Rai dari Dalung dengan I Gusti Gede Mangku dari Tibubeneng. Dalung dibantu oleh Badung dan Kerobokan, dan Padangluah. Akhirnya Tibubeneng hancur, perang dimenangkan oleh I Gusti Nyoman Rai dari Dalung. Akibatnya wilayah yang menjadi kekuasaannya I Gusti Gede Mangku banyak dibawah kendali Badung. Semenjak itu komunikasi lebih banyak ke Badung. Dan bahkan beberapa orang Badung mulai tinggal di Tibubeneng. Sampai sekarang wilayah yang dulunya dipegang oleh I Gusti Gede Mangku sebagai penguasa Tibubeneng sebelumnya secara komunikasi menjadi kurang lancar ke Mengwi, dampaknya ketika jaman Republik bentuk akses komunikasi ini menyebabkan wilayah ini lebih cenderung masuk ke wilayah kec. Kuta.


Gambar diadopsi dari Henk Schulte Nordholt: 2006:


Sebelum Mengwi hancur (1891), wilayah Mengwi cukup luas. Untuk batas selatan Bahkan sampai Uluwatu. tetapi akibat pernikahan I Gusti Ayu Bongan ke Badung, menyebabkan Sedauh Tukad Mati menjadi milik Badung. Ini termasuk sebagian wilayah I Gusti Gede Meliling, termasuk Padangluah. Setelah I Gusti Gede Meliling wafat, perkembangan politik di wilayah kekuasaannya menjadi berubah. Konflik kepentingan antara putra-putra meliling semakin besar. Wilayah ini menjadi terpecah-pecah antara kubu I Gusti Gede Mangku (dominan komunikasi kie Mengwi) dengan I Gusti Nyoman Rai dari Dalung lebih dominan komunikasi ke Badung. Komunikasi ini menjadi lebih kuat ketika Perang Tibubeneng terjadi. Hal inilah membuat bentuk wilayah kecamatan seperti sekarang ini.
Ini hampir mirip dengan kondisi Turki, yang ditulis oleh Samuel P. Huntington dalam karyanya The Clash of Civilization and The Remaking of World Order, tahun 1996. Sebenarnya secara geografis Turki masuk Eropa, tetapi kenyataannya bukan Eropa, sehingga tidak masuk Masyarakat Ekonomi Eropa. Mengapa? karena proses komunikasi yang menyebkan memiliki Budaya yang berbeda dengan Eropa. Turki lebih cenderung ke kebudayaan Timur (Asia) dan sebagian besar Muslim. Sedangakn Eropa lebih kenal dengan Kebudayaan Barat. Semuanya itu tidak terlepas dari proses sejarah waktu terjadinya Perang.
Sebuah kelompok didasarlan antas persamaan kepentingan bisa menyebabkan dasar terbentuknya konglomerasi kekuatan politik. Akhirnya jika ini bertahan lama, dan penemuan kekcocokan dalam pemecahan masalah untuk keluar dari konflik, dapat membentuk terbentuknya sebuah kekuatan yang mengarah pada sebuah negara atau kerajaan.
Dalung memiliki kepentingan dalam pengembalian wilayah Padangluah yang sempat jatuh ke tangan Tibubeneng. Konflik kepentingan ini akhirnya mengundang campur tangan Badung karena I Gusti Nyoman Rai memerlukan bantuan untuk menggempur Tibubeneng. Badung menyanggupi karena juga memiliki kepentingan untuk memperkuat pertahanan perbataasan Badung terhadap Mengwi, dan memperkuat komonikasi dengan Dalung. Kerja sama ini akhirnya berhasil terwujud melalui kesuksesan dalam menghancurkan Tibubeneng. Putra-putra Tibubeneng akhirnya menyingkir ke Barat ke sebuah Desa yaitu Pererenan, masuk ke wilayah Mengwi. Mengwi yang memiliki komunikasi yang baik dengan Tibubeneng berusaha melindunginya, dengan cara mengirim utusan untuk menyelamatkan putra-putra Tibubeneng ke sebuah tempat yang sekarang bernama Tiying Tutul, kemudian dari tempat itu ke Desa Pererenan.
Pasca Kemenangan Dalung dalam perang di Tibubeneng menyebabkan secara komunikasi Dalung berdiri secara otonomi sendiri. Secara keukuasaan tidak di Bawah Badung, juga tidak jelas hubungannya hirarki secara komunikasi dengan Mengwi. Karena sangat memahami dan mengerti di hubungan putra-putra Tibubeneng setelah di Pererenan, semakin erat ke Puri Mengwi. Sehingga Dalung lebih memilih untuk mengatur dirinya sendiri. Hal ini sangat jelas ketika Mengwi hancur 1891, Dalung tidak memiliki peran yang jelas dalam mempertahankan kedaulatan Mengwi. Bahkan orang-orang Dalung justru memperoleh manfaat berupa migrasi penduduk besar-besaran masuk ke wilayah Mengwi seperti Abianbase, Desa Kapal, Buduk, dan Ulonomo. Sedangkan sebaliknya penduduk asli wilayah setempat desa-desa tersebut justru pergi lari ke luar Mengwi untuk menyelamatkan diri. Salah satunya penduduk asli Desa Kapal mengungsi ke Ubud. Begitu pula terhadap gelar yang mereka miliki. Penguasa di Dalung yang rata-rata adalah keturunan I Gusti Gede Tibung, tidak mengalami kondisi nyineb wangsa karena tidak tunduk pada kerajaan manapun. Mereka berdiri sendiri secara otonomi. Desa Dalung bukan pemberian kerajaan lain, tetapi mereka bangun sendiri, yang merupakan perpindahan dari Padangluah. Sehingga hari tegak petirtan Pura Desa di Dalung sama dengan di Pura Desa di Padangluah yaitu; Macekan Agung.

Rabu, 15 Juli 2009

Dauh Tukad Mati Tadtadan ke Badung dan Perkembangan Kuta

Catatan panglingsir (tetua) Puri Agung Denpasar Ida Cokorda Mayun Samirana pada sebuah situs Parisada menyatakan bahwa Dalung termasuk tadtadan ke Badung pada waktu pernikahan I Gusti Ayu Bongan (Putri Mengwi) rasanya perlu diluruskan. Karena pada masa perkawinan I Gusti Ayu Bongan ketika terjadi keputusan tadtadan tersebut Dalung belum berdiri (belum ada). Pada waktu itu yang ada adalah wilayah Padangluah. Sedangkan Dalung mulai ada sekitar tahun 1823-1825 M. Sehingga Dalung yang berada dauh Tukad Yeh Poh tidak termasuk dalam Tadtadan tersebut. Pernikahan tersebut terjadi pada waktu I Gusti Gede Meliling berkuasa di Padangluah, bahkan ikut dipanggil ke Mengwi untuk diminta persetujuannya oleh Maha Raja Mengwi. Keputusan itu memang dari I Gusti Ayu Oka sebagai Natheng Wadu Raja Mengwi tahun 1780-1807 Masehi. Menurut saya Dalung yang didirikan oleh Putra-Putra I Gusti Gede Tibung (baca Sejarah berdirinya Dalung pada blog ini) Dauh Tukad Yeh Poh tidak termasuk tadtadan ke Badung.

Ruapanya dari sekian peristiwa yang tercatat dalam sejarah semenjak I Gusti Ayu Oka sebagai Sri Ratu di Mengwi terlalu tergesa-gesa. peristiwa akibat keputusan dari pernikahan I Gusti Ayu Bongan sangat memberikan pengaruh signifikan terhadap Padangluah mengapa?.
Awalnya bermula dari I Gusti Ngurah Gede Oka, putra dari I Gusti Ngurah Jambe Pemecutan, Badung datang mengabdi kepada baginda ratu di Mengwi. Pengabdian yang bernuana politis ini akhirnya memberikan hasil yaitu; baginda ratu menikahkan I Gusti Ngurah Gede Oka (cucu dari I Gusti Ngurah Pucangan ) dengan I Gusti Ayu Bongan beribu I Gusti Tegeh Kori. Perkawinan ini metadtadan wilayah disebelah Barat sungai Mati, utaranya Nalu, Jagi, selatannya Jimbaran sampai dengan Huluwatu. Mengingat hampir sebagian besar wilayah yang dijadikan tadtadan I Gusti Ayu Bongan tersebut merupakan wilayah dipercayakan kepada I Gusti Gede Meliling atas panugraha I Gusti Agung Nyoman Alangkajeng Raja III Mengwi, maka I Gusti Agung Putu Agung sebagai Raja Mengwi ke VI memanggil I Gusti Gede Meliling di Padangluah untuk menghadap ke Puri Mengwi. I Gusti Gede Meliling tidak berani menolak perintah I Gusti Agung Putu Agung untuk menjadi tadtadan I Gusti Ayu Bongan. Walaupun demikian I Gusti Ayu Bongan menolak metadtadan rakyat begitu banyak. Beliau teringat akan kesalahan pada waktu beliau diminta pada kakaknya diberikan wilayah Kerobokan. Perkawinan ini memberikan makna penting bagi awal mulai berkembangnya kerajaan Badung yang kemudian pada masa sejarah berikutnya justru menjadi kekuatan yang menentang Mengwi. Pada masa dimulainya usaha untuk memisahkan diri dengan Mengwi dan mulai bangkit untuk intervensi, wilayah perbatasan kerajaan Negara Mengwi Selatan yang dikendalikan oleh putra-putra Meliling, seperti Padangluah, Kerobokan, mendapat intervensi pertama. Pada masa pemerintahan I Gusti Gede Meliling di wilayah sedauh Tukad Mati, dengan hak kemudahan yang diberikan oleh Maha Raja Mengwi ke III, salah satunya jika mau memperluas kekuasaan ke selatan (Jimbaran, Uluwatu, dan Kuta) itu sah-sah saja, karena wilayah tersebut memang untuk I Gusti Gede Meliling. Hal ini menjadi kurang menguntungkan bagi Badung, ditambah I Gusti Gede Meliling memiliki pengaruh yang begitu besar di wilayah Bali selatan (sedauh Tukad Mati). Kekuatiran ini dapat dimengerti, karena I Gusti Gede Meliling dapat saja menggunakan peluang ini untuk memperluas kekuasaan ke wilayah Badung. usaha Badung selanjutnya untuk mengatasi hal tersebut, melakukan pendekatan hubungan dengan Mengwi.

Manuper Mengwi adalah Untuk memperkuatnya dilakukan peningkatan hubungan dengan Badung melalui perkawinan I Gusti Ayu Bongan. Dengan demikian Badung masih dalam kendali Mengwi. Tetapi Tidak terpikirkan oleh I Gusti Ayu Oka tentang keputusan pernikahan ini membawa dampak pada hubungan pengendalian secara langsung jangka panjang untuk wilayah selatan, juga putusnya atau hilangnya jaringan niskala antara selatan (segara) dan pusat (gunung) dalam hal ini poros niskala Pura Ulun Siwi (Jimbaran) yang sangat penting bagi pertanian. Walaupun wilayah ini sebagian besar merupakan daerah yang sangat tandus, tetapi keberadaan Pura-Pura penting yang memiliki makna kesejahteraan dan kemakmuran ini dari sisi keyakinan niskala tidak dapat diukur dengan bentuk sekala tandusnya tanah yang ada di lingkungan ini. Ketidak lancaran ritual akhirnya terbukti begitu hubungan Badung-Mengwi menjadi tidak baik, akses yadnya (ritual) Pura selatan ini menjadi terlepas. Begitu pula dengan Pura Uluwatu. Benteng kekuatan niskala mengwi menjadi berkurang, baik dari sisi kesejahteraan pertanian dan pertahanan dan keamanan. Badung telah menguasai wilayah selatan tersebut. Dampaknya sangat terbukti memberikan kekuatan kesejahteraan dan kekuatan terhadap Badung. Semenjak memegang Pura-Pura penting tersebut, Badung yang tadinya merupakan wilayah lebih kecil dari Mengwi akhirnya mulai menampakkan kekuatannya, untuk berkembang. Akhirnya dalam proses sejarah menjadi ancaman yang begitu serius bagi Mengwi.

Perkembangan Kuta
Semenjak pernikahan Putra Badung dengan I Gusti Ayo Bongan, aktivitas Sedauh Tukad Mati mulai ramai dilakukan oleh Badung. Bahkan di Kuta yang dulunya sebagai wilayah pelabuhan dan perdagangan, mulai dimanfaatkan untuk kegiatan politik. Salah satu transaksi yang ramai pada abad 18-an di Kuta adalah transaksi budak untuk prajurit Belanda. Memang Belanda memerlukan banyak orang untuk prajuritnya untuk tingkat bintara. Dari catatan tahun 1830, terlihat perbandingan jumlah perwira, bintara serta prajurit antara bangsa Eropa dan pribumi dalam dinas ketentaraan Belanda. Di tingkat perwira, jumlah pribumi hanya sekitar 5% dari seluruh perwira; sedangkan di tingkat bintara dan prajurit, jumlah orang pribumi lebih banyak daripada jumlah bintara dan prajurit orang Eropa, yaitu sekitar 60%. Kekuatan tentara Belanda tahun 1830, setelah selesai Perang Diponegoro adalah 603 perwira bangsa Eropa, 37 perwira pribumi, 5.699 bintara dan prajurit bangsa Eropa, 7.206 bintara dan prajurit pribumi (Markus Vink: 2003).
Tahun 1808 pemerintah Belanda mengirim utusan pertama kali ke Bali, mendarat di Kuta menggunakan Kuta sebagai tempat diplomasi untuk melakukan hubungan politik dengan Raja-Raja di Bali, kemudian mencari calon prajurit untuk dibawa ke Jawa, tetapi tujuan ini gagal. Banyak Raja-Raja yang tidak siap, dan hanya Badung yang siap melakukan kontrak (Utrecht, 1962; 147 - 149, dalam Agung, 1998; 13) Kegiatan untuk memperoleh prajurit dari Belanda dengan Raja Badung berlangsung sampai tahun 1838. Enam tahun menjelang tahun 1824, Pemerintah Belanda mengirim wakil mereka bernama Said Hasan Al Habeschi untuk melaksanakan kesepakatan tentang sewa perbudakan untuk dijadikan prajurit. Delegasi ini gagal melakukan perundingan dengan Raja-Raja di Bali. Kemudian Pemerintah Belanda mengirim kembali kapten mereka bernama JS Wetters ke Kuta pada 1826. Terjadilah kegelisahan pada masyarakat karena masalah mencari calon prajurit untuk jangka panjang mempengaruhi situasi perdagangan pada waktu itu (Hoenel, 1854; 11, dalam, 1998; 13). Perkembangan selanjutnya Kuta tidak lagi dapat dikendalikan, dan yang terburuk Kuta menjadi banyak persembunyian penyelunduk apiun ke Jawa. Akibat kebijaksanaan Raja Badung memberikan kelonggaran izin, kuta menjadi semakin berkembang. Pada tanggal 1 Agustus 1839 Nederlandsche Handel Maatsschappiy (NHM) merupakan perusahaan perdagagangan Belanda mulai melakukan kegiatan di Kuta. Transaksi perdagangan menggunakan uang kepeng China, uang Spanyol bernama Piaster dan uang perak Belanda (Putu Rumawan Salain: Kuta from Traditional Village Towards Multi Ethnic City, Architecture Department, Faculty of Engineering Udayana University – Bali).
Dari gambaran tersebut berarti Kuta bukan lagi sebagai wilayah perdagangan tetapi juga aktivitas politik hubungan luar negeri Kerajaan Badung. Laporan Secara domografis tahun 1831, Kuta terdiri dari multi ethnis. Terdiri dari 400 keluarga Bali dan Bugis, dan 40 orang China.
Sebenarnya orang yang ikut berjasa sehingga Kuta menjadi semakin ramai pada abad ke 18 adalah Mads Johansen Lange, (lahir di Rudkobing, Denmark, 18 Sepetember – wafat di Kuta Bali 13 Mei 1856 pada umur 48 tahun) ialah seorang pedagang dan Juru Damai berkebangsaan Denmark di Bali, yang dianugerahi Orde Singa Belanda, dan menerima medali emas dari pemerintah Denmark atas pencapaiannya. Atas jasanya, Kuta berkembang sebagai kawasan perdagangan international pada awal abad ke 19 atau akhir abad 18. Ia biasa dijuluki Raja Bali (Kongen af Bali). Mulai tahun 1839 tinggal di Kuta sebagai pedagang. Pada tahun 1844, Lange diangkat sebagai agen resmi pemerintahan Hindia Belanda, mengingat hubungan pribadinya yang erat dengan masyarakat Bali kelas atas dan juga koneksi dagangnya. Namun, peran barunya hanya bersifat tipu muslihat karena saat itu Belanda sedang menyerang Bali utara dan memblokade jalur laut di selatan. Atas usahanya, Lange dapat mempertemukan Bali dan Belanda di meja perundingan. Setelah penandatanganan perjanjian tersebut, diadakan pesta besar di rumah Lange yang dihadiri oleh 30.000 orang. Pada tahun 1856, Lange sakit dan mohon pensiun, serta memutuskan untuk kembali ke Denmark, namun sayang dia meninggal pada saat kapal yang akan ditumpangi akan berangkat dan akhirnya dia dikubur di Kuta. Untuk memperingati Lange, sebuah jalan di Kuta dinamai Tuan Langa (situs Wikipedia).

Demikianlah sekilas tentang Kuta yang berkembang pada abad 18-an merupakan salah satu dari wilayah Mengwi yang lepas. Tidak seorangpun menyangka pada saat keputusan untuk dijadikan tadtadan pernikahan I Gusti Ayu Bongan ke Badung, Kuta yang merupakan wilayah yang gersang dan sebagaian terdiri dari hutan dikenal dengan istilah Mimba, manjadi begitu berkembang kemudian. Walaupun diatas tahun 1843 Kuta kemudian mulai kehilangan pamornya, akibat dari kurang dukungan dari permerintah local, dan perkembangan pelabuhan lain seperti Padang Bai, Bali Timur, Bali Utara, juga Pelabuhan Buleleng. Pusat perkembangan di Bali selatan menjadi berkurang. Dampak dari perubahan yang tidak baik ini, menyebabkan pemasukan untuk Badung menjadi berkurang. Akibatnya strategi baru harus dikembangkan untuk perubahan dan kemakmuran kerajaan jangka panjang, yaitu memperoleh akses pertanian, ini berarti diperlukan ekpansi.

Berkembangnya konflik tidak langsung (perang dingin ) antara Badung dan Mengwi menyebabkan Padangluah menjadi wilayah yang secara politis menjadi terjepit. Konflik diantara kerajaan-kerajaan kecil sebagai satelit Meliling sering terjadi. Seperti Masalah internal Kerobokan, Penyerangan Tibubeneng dipimpin I Gusti Gede Mangku ke Padangluah, kemudian terakhir hancurnya Tibubeneng akibat serangan I Gusti Nyoman Rai dari Dalung. Konflik tersebut adalah konflik kekuasaan diantara keturunan I Gusti Gede Meliling di wilayah selatan Negara Mengwi. Karena diantara mereka saling mencurigai dan terjadinya sikap saling berstrategi. Dampaknya benteng selatan Mengwi menjadi rapuh.

Minggu, 12 Juli 2009

Eksistensi Elite Dinasty Dalung

Istilah elite dinasti mulai saya kenal melalui tulisan Albert Wijaja, Budaya Politik dan pembangunan Ekonomi. Pada sebuah tatanan masyarakat para elite biasanya sangat memegang peranan penting. Untuk masyarakat yang masih transisi menuju measyarakat yang lebih maju, keterkaitan elite dinasty tidak dapat terlepas pada proses perubahan tersebut. Lalu bagaimana dengan proses perbahan di Dalung?
Kemononjolan pigur-pigur yang berpengaruh dalam keluarga besar I Gusti Gede Tegeh I , hampir seimbang. Artinya; ketersebaran mereka meliputi wakil secara informal dari masing-masing kelompok keluarga sub-keluarga besar I Gusti Gede Tegeh I, yang dikenal dengan system pos dan sub pos. Bahkan pergolakan sering terjadi yang mewarnai dinamika social di Dalung sering diakibatkan oleh kekuatan tarik menarik diantara mereka. Ketidak kompakan mereka mempengaruhi perpecahan masyarakat Dalung. Walaupun demikian peranan mereka untuk membentuk strutur Dalung dan menjaga tradisi sangat tidak dapat diragukan lagi. Mereka ada dalam posisi strategis yang mampu mempengaruhi pengambilan keputusan, bahkan arah gerakan dan menciptakan momentum sejarah pada masa lalu tidak terlepas dari sikap mereka. Kelompok pigur-pigur elite strategis ini dikenal dengan Elite Dinasti.
Peranan elite dynasty
Elite dinasti memegang peranan penting. Bahkan gerak proses sejarah sangat dipangaruhi oleh kalangan ini. Lebih-lebih dalam pengambilan keputusan pemerintahan. Begitu pula pada masa-masa selanjutnya (jaman republik) berkembang pemikiran tentang hirarki kawitan (baca; bagian sebelumnya), seperti Mengwi kemudian berkembang lagi menuju Gelgel, walaupun hanya terdiri dari sebagian kecil saja.
Sistem pemerintahan di Dalung (sebelum kemerdekaan RI) tidaklah seperti yang dibayangkan dalam cerita kerajaan secara klasik yaitu; keputusan mutlak di tangan satu penguasa. Jauh dari bayangan tersebut kita bisa lihat bahwa peranan keluarga melalui elite-elite dinastinya sebagai pengendalian kekuasaan cukup dominant. Bahkan berbagai keputusan penting juga lahir dari elite ini, seperti keputusan perang Tibubeneng pada sejarah Dalung dimana pigur I Gusti Nyoman Rai lebih kelihatan dari sang penguasa yang dikenal dengan istilah moncol. Ini mengisyatkan demokrasi sesuai dengan syarat iklim pada jaman itu telah tumbuh dan berkembang. Kebersamaan menjadi penting. Terutama dalam proses pengambilan keputusan penetapan tujuan dan proses pencapaian tujuan. Kebersamaan diekpresikan dengan kehadiran seluruh elite dinasti tesebut. Pergolakan dapat terjadi ketika terjadinya pengingkaran terhadap “kebersamaan” tersebut. Klik-klik yang bersifat mendiskritkan satu beberapa elite dinasti bisa saja terjadi, karena adanya upaya dan kepentingan tertentu secara individual dan pemanfaatan keadaan. Biasanya diwujudkan dalam kegiatan paruman dengan sengaja tidak menyampaikan informasi untuk kehadiran dalam parum penting. Keadaan ini merupakan salah satu bentuk dari pengingkaran terhadap “kebersamaan”, dampaknya “riak-riak” reaktif. Bentuk penyampiannya bisa berbentuk secara terbuka, atau tertutup dalam pengertian selektif hanya pada batas sub pos keluarga. Sedangkan penyampian secara terbuka, dilakukan secara langsung bahkan di dalam pertemuan parum melalui protes dan kritikan.
Pusat-pusat kekuatan strategis pada struktur masyarakat Dalung seperti lembaga-lembaga yang ada, di pegang oleh para elite dinasti. Dan kondisi itu secara optimal sampai dengan tahun 1990-an. Sebagai ciri khas elite dinasti secara umum, mereka sangat mempertahankan tradisi, mereka menutup kran-keran aliran pengaruh asing yang negative hal terjadi terhadap Dalung. Mereka sibuk dengan urusan social masyarakat. Rupanya tidak ada sikap atau kebijakan yang langgeng, kondisi jaman akhirnya memaksa mereka untuk menerima kenyataan masuknya pendatang dalam jumlah besar secara spontan melalui Perumahan Dalung Permai sebagai keran terbuka mengucurnya sifat social masyarakat dari luar, menyimpan berbagai permasalahan, dan perubahan social yang mengikis struktur Dalung yang telah dibangun dari proses sejarah diwujudkan dengan sengker empat pura. Rupanya para elite dynasty juga tidak mampu untuk menghadapi gerakan putaran jaman dalam bentuk hukum pasar yang telah menyerbu Dalung melalui investasi perumahan, lengkap dengan dampak social budaya yang menyertainya. Apa yang diwariskan oleh leluhurnya untuk menjaga Dalung dari kran pendatang yang tidak sehat sedikit demi sedikit melunak cair, dalam wadah penyesuaian diri. Dari permasalahan ekonomi, dan kemudian mendapatkan dirinya harus bersaing secara politik dengan para pigur-pigur baru sebagai pendatang dalam sebuah percaturan pengaruh. Hal ini sangat jelas kelihatan ketika berlangsungnya Pilkada dan Pilcaleg dengan system multi partai di tahun 2009.
Karakter elite dinasty
Lebih jauh dengan kaum elite dynasty di Dalung, ternyata mereka terdiri dari sifat dan karakter yang berbeda-beda. Klasifikasi karakter elite dinasti yang pertama, lebih mengutamakan usaha pemeliharaan tradisi dan kemapanan yang telah terjaga dengan baik. Gaya selektif dengan ketat, terhadap perubahan. Karena dilatarbelangi dengan upaya menjaga kemapanan tersebut, sikap mereka menjadi tidak mudah memberikan kepercayaan kepada orang lain lebih-lebih pada masalah kepemimpinan. Kecendrungan mereka jika sebagai pemimpin lebih berorientasi pada penyelesaian tugas (pencapaian tujuan) dari pada pemeliharaan hubungan. Sangat procedural. Selain itu terdapat juga elite dinastik yang tradisional klasik yang menentang setiap perubahan, kekuatiran mereka cukup berlebihan jika terjadi krisis social dan moral. Walaupun demikian terdapat juga elite dinastik yang moderat. Sikap mereka realistis, memandang perlu adanya perubahan atau pembahauran, dan menyesuaikan kebijaksanaan padanya. Tetapi sifat intinya untuk mempertahankan tradisi tetap melekat. Bedanya, penyesuaian kebijaksanaan dengan pembaharuan seiring dengan memelihara tradisi. Terakhir, terdapat juga elite dinastik yang disfungsional. Sikapnya lebih menuruti nafsu, ambisius terhadap pengaruh dan kekuasaan, provokatif-membenturkan bentuk kekutan-kekuatan, individualistis, materialistis, tidak mau memelihara norma dan tradisi, menghindari resiko, terutama keputusan yang mengandung resiko terhadap eksistensinya di lingkungan sosial masyarakat, dampaknya upaya pemecahan masalah dan penyelelesaian tugas menjadi terhambat.
Latar pendidikan, pergaulan komunikasi atau tingkat interaksi social mereka melahirkan perbedaan. Keberbedaan ini mempengaruhi pola pikir, gaya hidup dan pandangan mereka tentang bentuk tatanan masyarakat masa depan atau bentuk perubahan, serta eksistensi “keluarga” pada masa yang akan datang ditengah-tengah perubahan lingkungan yang sangat cepat. Masa depan menjadi terjadi terlalu dini. Akhirnya banyak dari mereka “merasa terasing” dengan masa kini, karena masa depan tanpa disadari sudah mulai terjadi pada masa sekarang.
Dalam kenyataan ini, terdapat dua bentuk reaksi elite dinastik, pertama, tidak terlalu banyak memikirkan masa depan tetapi lebih memikirkan masa kini. Reaksi kedua, yang merasa tidak puas dan kecewa dengan masa kini, akan sangat merindukan perubahan masa depan. Terjadi kepincangan jika tidak terdapat keseimbangan pola pikir antara masa kini dan masa depan. Kaum elite dinastik yang hanya memikirkan masa kini dan hanya terikat dengan berbagai persoalan sekarang, ia tidak akan mampu menjawab persoalan masa depan. Sebaliknya jika ia hanya orientasi ke masa depan maka ia tidak mampu mengatasi masa kini. Dalam gejolak tersebut, terdapat pemikiran idial masa depan adalah kehadiran kembali keadaan idial masa lampau, diistilahkan dengan nativisme yaitu; keinginan yang kuat untuk mengembalikan masa lampau yang jaya. (Frank E Manuel, dalam Albert Wijaja, 1982)
Iklim individualistic sudah berkembang seiring dengan masuk derasnya aliran kapitalis, melalui roda industrialisasi. Pada prosesnya terjadi pergeseran tentang arti “kebersamaan” yang telah diterjemahkan dalam “hati sanubari” masing-masing pada masa lalu ketika keadaan masih digerakan roda agraris. Bahkan arti dari kekuasaan menjadi bergeser ke arah materialistis. Oleh sebab itu para elite dynasty terpacu mengejar materi dan posisi di lembaga-lembaga pemerintah dan swasta. Bentuk ancaman bukan lagi berupa perkembangan kerajaan tentangga, tetapi keterbelakangan dan kemiskinan. Oleh sebab itu pembentukan Sumber Daya Manusia menjadi ciri penting bagi para elite dynasty pada masa tersebut.