Sabtu, 30 Mei 2009

SEJARAH PENATAAN DAN BANGKITNYA DALUNG

Setelah perang di Uma Dawas menyebabkan hancurnya Tibubeneng, masyarakat mulai berupaya untuk menenangkan diri. Perang membawa bekas ketidaktenangan, dan kecurigaan kepada setiap orang lain, terutama orang asing sebagai pendatang. Tetapi disatu sisi pada tingkat local Dalung, perang tersebut memperkuat persatuan komunitas warga dan persaudaraan, karena adanya berbagai kemungkinan ancaman dari luar untuk menghadapinya diperlukan kebersamaan. Demikian pula perang membawa dampak menularnya penyakit yang diistilahkan dengan “gering” atau “grubug”. Jaman tersebut masyarakat sangat menyakini bahwa gering tersebut disebabkan oleh kekuatan luar yang negative. Salah satu misalnya; kekalahan musuh yang masih menaruh dendam. Tetapi berdasarkan data sebagian besar gering pada masa itu disebabkan oleh wabah kolera, diduga oleh penyebaran pengungsi dari luar yang terjangkit penyakit melalui mayat korban perang yang tidak sempat terurus dengan baik. Bahkan banyak mayat korban perang dibuang oleh musuhnya ke kali atau sungai. Sedangkan sungai pada jaman dahulu memiliki fungsi yang besar untuk kegiatan rumah tangga. Alirannya mengalir melewati desa-desa mempermudah penyebaran epidemic tersebut.
Setelah perang Tibubeneng, hubungan antara Dalung dengan Badung terutama, Puri Denpasar dan Puri Pamecutan terjalin komunikasi yang sangat baik. Angga dari Dalung selalu diperlakukan istimewa jika berkunjung ke Puri Denpasar. Tetapi tidak demikian setelah hancurnya Mengwi 1891. Hubungan baik ini menjadi kurang harmonis, dengan Puri Pemecutan dan Badung Kaleran. Sedangkan hubungan ke Puri Denpasar tetap berjalan dan terbina dengan baik.
Demi ketenangan baik secara niskala dan sekala, I Gusti Gede Tegeh III dan saudaranya memandang perlu mencari tempat yang lebih baik sebagai Jero. Pilihan jatuh di sebelah Timur Laut dari posisi Jero di Banjar Kaja. I Gusti Gede Tegeh III bersama kedua adiknya membangun Jero disana (posisi semula agak ke Selatan dari Jero Gede sekarang dan Balai Banjar Tegeh). Kemudian atas pertimbangan tertentu, dan saran dari Cokorde Denpasar dan Pemecutan Jero Gede lebih sesuai berada di Utara dari lokasi yang telah ditempati tersebut (baca: RAAD VAN KERTA TE DENPASAR, 211/1937/Civiel diatas f1000, Resident September 1937) Relief permukaan tanahnya agak lebih tinggi (tegeh). Pada lokasi di Utara tersebut berdiri Jero Gede yang disebut dengan Jero Gede Meliling Dalung. Beliau juga membangun komunitas Banjar yang diberi nama Banjar Tegeh, balai banjarnya ada di jaba sisi Jero Gede. Ini merupakan pembangunan besar-besaran yang mencerminkan pembangunan struktur pasemetonan, kemasyarakatan dan pemerintahan. Dari bentuk tata letak lokasi Jero Gede, penataannya sangat menyatu dengan format wilayah Dalung yaitu sangat sesuai dengan konsep Catur Bhuwana. Bukti adanya unsur masukan dari pihak Puri Denpasar dalam melakukan tata letak Jero Gede.


Konsep dasar catur bhuwana adalah; membagi wilayah menjadi empat area. Masing-masing area memiliki fungsi. Biasanya yang menjadi Standar dan poros atau basis adalah posisi pusat pemerintahan. Dari poros tersebut mulai pusat pengaturan dan penataan, kemudian melebar ke wilayah lainnya. Dari pusat pemerintahan dapat ditentukan mana luanan dan tebenan atau mana utama mandala dan nista mandala. Idialnya Pura Desa dan Puseh selalu berada di utama, luanan pusat pemerintahan.

Pengendalian dapat dengan mudah dilakukan jika wilayah terbatas luasnya dan penduduk masih sedikit. Tetapi sebaliknya pada proses waktu (sejarah) sangat sulit dikendalikan akibat dari pertambahan penduduk, dan melebarnya wilayah pemukiman akhirnya merembet wilayah pertanian. Lama kelamaan batas catur bhuwana menjadi kabur. Proses inilah yang terjadi di Dalung.

Kondisi Catur Bhuwana di Dalung secara fisik tidaklah nyata seperti di Denpasar yang menyatukan konsep catuspatha. Artinya tampak dara sebagai pembatas catur bhuwana tidak digambarkan dengan bentuk fisik berupa jalan di tengah-tengah posisi silang terdapat Catur Muka. Tetapi gambaran tampak dara merupakan arah mata angin (lihat gambar10.1). Posisi gambar lingkaran merupakan ruang hampa (arel kosong), biasanya untuk acara tawur agung menjelang Nyepi. Di Dalung prosesi tawur agung dilakukan di jaba sisi Pura Desa. Kalau dilihat pada struktur gambar arah catur bhuwana gambar 10.1 maka lokasi jaba sisi Pura Desa (untuk tawur agung) masih dalam radius ruang hampa tersebut.

Jika dicermati secara garis besar, strukturnya sangat jelas kelihatan. Walaupun konsep catur bhuwana di Dalung tidak sama seperti di Denpasar, tetapi terdapat keunikan yaitu pada setiap ujung tampak dara terdapat Pura sebagai sebagai ujung arah. Menunjukan filosofi energi mengarahkan ke setiap sifat masing-masing dari catur tersebut adalah kekuatan yang kuasa, sesuai dengan manipestasinya. Artinya kemanapun arah kita melangkah tetap tertuju pada kekuatan Hyang Kuasa. Sebagai perbandingan dengan konsep Denpasar lihat gambar berikut


Catur bhuwana di Dalung tidak menyatu dengan konsep catuspatha, beberapa alasan kemungkinan yaitu; karena Dalung bukanlah kerajaan besar. Tetapi hanya kerajaan satelit dari Mengwi, yang kemudian berotonomi sendiri secara komunikasi. Sehingga catuspatha sebagai pusat kerajaan (titik nol) Ibu Kota kerajaan ada di Mengwi. Dalung bukanlah Ibu kota. Walaupun demikian konsep catuspatha sebagai pempatan agung terdapat di Dalung jika dilihat dari sisi Jero Kajanan Pusat pemerintahan (secara local) lama sebelum pindah ke Jero Gede, juga tampak pada posisi Jero I Gusti Putu Adi di Banjar Lebak. Konsep catuspatha di Dalung berbeda dengan Kerajaan besar seperti Mengwi dan Denpasar, yaitu bukanlah catuspatha sebagai pusat Ibu Kota tetapi merupakan pusat pemerintahan wilayah bawahan Negara (dalam hal ini Mengwi), ketika jaman kerajaan sudah tidak ada, memasuki jaman republic, akhirnya berubah menjadi catuspatha desa. Menurut beberapa kajian, terdapat jenis-jenis catuspatha. Yaitu catuspatha berfungsi sebagai pusat kutaraja suatu negara (dalam hal ini Mengwi) dan ada catuspatha yang merupakan pusat pemerintahan wilayah bawahan Negara (Dalung sebagai satelit Mengwi), dan ada catuspatha desa.

Alasan alternative lainnya; mengapa posisi pusat pemerintahan (Jero Gede) mengabaikan catuspatha, bahwa akibat proses sejarah pembangunan dan penataan Dalung mengalami krisis referensi sastra yang mengatur tentang aturan secara sastra tentang tata ruang. Pusat sastra pada jaman itu berada di Griya atau pada wiku. Sedangkan di Dalung tidak ada wiku yang berani membangun griya. Sehingga referensi wiku atau sulinggih sebagai bagawanta hampir tidak ada. Inilah sebabnya konsep catuspatha kalau dilihat dari Jero Gede menjadi kabur. Bahkan berpengaruh juga pada penataan pura-pura sanak putra di Dalung.

Istilah catuspatha berasal dari bahasa Sanskerta catus yang artinya empat dan patha yang berarti jalan, sehingga bila dipadukan akan berarti jalan yang bercabang empat atau simpang empat. Di Bali, catuspatha diartikan bukan sekedar simpang empat atau pempatan tetapi suatu simpang empat (crossroads) yang memiliki nilai sakral dan makna tersendiri dan disepadankan dengan pempatan agung. Dengan demikian setiap simpang empat di Bali adalah pempatan, namun tidak seluruh pempatan merupakan pempatan agung. Di zaman kerajaan di Bali catuspatha bukan sekedar simpang empat yang sakral tetapi terkait pula dengan statusnya sebagai pusat ibukota kerajaan. Sebagai pusat ibukota, dan ibukota adalah pusat wilayah negara, maka catuspatha adalah pusat negara. Negara dalam budaya Bali yang dijiwai oleh agama Hindu adalah suatu kosmos kecil yang merupakan replika atau miniatur alam raya (makrokosmos). Dalam kedudukannya sebagai pusat negara, maka catuspatha mengandung unsur-unsur: puri sebagai keraton atau pusat pemerintahan merangkap sebagai rumah jabatan; pasar sebagai pusat perdagangan/tempat transaksi; bangunan wantilan sebagai pusat budaya/hiburan khususnya sabungan ayam (tajen); dan ruang terbuka umum yang digunakan untuk taman rekreasi yang kadang-kadang ada yang dilengkapi dengan satu bangunan terbuka yang panjang (bale lantang). (I Gusti Made Putra, Catuspatha Konsep, Transpormasi, dan Perubahan, Jurnal Pemukiman Natah Vol. 3 No. 2 Agustus 2005 : 62 – 101).

Kajian sejarah masa lalu, menunjukan, di Dalung terjadi dua kali perpindahan pusat pemerintahan. Dari Jero Kajanan (Banjar Kaja), kemudian pindah ke Jero Gede (di Banjar Tegeh). Sehingga konsep pempatan agung dilihat dari sejarah sangat jelas batas-batasnya yang mengekspresikan pada sumbu Jero Kajanan. Pempatan agung yang mengadopsi nilai catuspatha secara fisik (nyata) sebagai titik nol berada pada persimpangan jalan ke arah Kapal, Abianbase, ke timur ke Sempidi dan Padangluah, ke Barat menuju Tibubeneng, dan ke selatan menuju Setra. Pada pesimpangan jalan terdapat kegiatan ekonomi berupa pasar,yang tepat berada di Jaba sisi Jero Kajanan. Dekat dengan catuspatha tersebut terdapat pohon kepuh besar. Kajian ini menunjukan penataan tata wilayah Dalung, terjadi dua kali, yaitu pada saat masih di Jero Kajanan sebagai pusat pemerintahan, kemudian penataan ke dua setelah pusat pemerintahan pindah ke Jero Gede Dalung (di Banjar Tegeh). Pada penataan kedua kita hanya menemukan konsep catur bhuwana, sedangkan pempatan agung menjadi kabur.

Seperti dikemukan sebelumnya, bahwa kurangnya referensi sastra dari wiku untuk tata ruang untuk Dalung, menyebabkan posisi Jero Kajanan menjadi kurang menarik ditinjau dari format struktur catuspatha yang termuat dalam sumber sastra lontar Lontar Eka Pretamaning Brahmana Sakti Bujangga dan dan Batur Kelawasan.

Karateristik poisisi pusat pemerintahan yang idial yang termuat dalam Lontar Eka Pretamaning Brahmana Sakti Bujangga. Dan Lontar Batur Kelawasan dikutip dan diterjemahkan oleh I Gusti Made Putra Catuspatha Konsep, Transpormasi, dan Perubahan, Jurnal Pemukiman Natah Vol. 3 No. 2 Agustus 2005 : 62 – 101 adalah sebagai berikut:

“Yan kita anangun tata negara, wnang awruha ikanang patemoning rasa, apan kita dadya metu ikang patemoning bhuana rho maka ingaranan bhuana agung lan bhuana alit, ika maka pawetuan idep maka palingganya angawe kakertaning jagat, apan meawak bayu, angeka bhuana, anglebur sehananing leteh, ika kramanya Brahmana Bujangga pinaka guruning ikang guru ri sekala….. Iti tataning ngawe tata negara maka umahing rat, luirnya; ikang bhuana metu saking idepta, apan idep maka patemoning rasa dadya metu catur lokapala ri akasa, yan mijil ri bhuana sekala dadya bhumi nyatur ingaranan catur negara… Urip lan pati maka pawedalan lemah lan wengi ika ngaran purwa lan pascima, patemoning rasa maka utama lan nista maka ngaran uttara lan daksina. Yan maka catur nunggal dadya ngaran bhumi tunggal maka palingganing angawe tataning tatanegara yan samangkana metu ikang catuspatha. Patemoning catuspatha ngaran raksa bhuana maka pangider-idering ikang negara ika payoganing ikang negara maka tataning linggih sang amudra bhumi”


Artinya:
Di dalam membangun tata negara, perlu ada perpaduan rasa, karena hal itu merupakan perpaduan dua dunia/alam yaitu mikrokosmos dan makrokosmos (bhuana alit dan bhuana agung), yang diwujudkan melalui pikiran sebagai inspirasi di dalam upaya mewujudkan kesejahteraan, keadilan, dan keserasian alam. Tugas Brahmana Bujangga, guru dari semua guru di alam nyata, adalah untuk mewujudkan tenaga, menyatukan alam, dan mewujudkan kesucian. Untuk menata kerajaan sebagai tempat tinggal rakyat, pertama-tama perlu memahami asal mula pembentukan alam. Alam itu terbentuk dari pemikiran yang merupakan perwujudan rasa. Dalam alam ditentukan empat arah mata angin (caturlokapala) yang kemudian diejawantahkan menjadi catur negara. Hidup dan mati merupakan perwujudan siang dan malam yang diartikan pula sebagai arah timur dan barat. Perpaduan rasa yang merupakan perwujudan nilai utama (tertinggi) dan nista (terendah) diejawantahkan dengan arah utara dan selatan. Bila keempatnya ditemukan menjadi simbol bumi bulat dan diwujudkan dengan pola catuspatha (pempatan agung). Pusat catuspatha merupakan pusat dunia dan juga pusat negara. Dari sinilah menentukan letak puri seorang kepala negara.

Kemudian menganai tata letak ditegaskan dalam lontar Batur Kelawasan sebagai berikut:

“Ersanya utamaning negara maka linggih ikang rat. Genyan pawetuan ikang gni rurub apan lebur ikang rat, tan wenang kangge. Neriti utama apan wredhi ikang rat negara. Wayabya dahat kadurmanggalan apan gni astra payoganya” (Lontar Batur Kelawasan)

Artinya:
“Timur laut tempat yang utama untuk puri. Tenggara perwujudan dari kobaran api yang menyebabkan hancurnya kerajaan, tidak baik untuk tempat puri. Barat daya, utama, karena mengakibatkan rakyat di dalam negara hidup sejahtera, makmur, berkembang, dan mewah. Barat laut berakibat buruk karena merupakan tempat gni astra “. Posisi puri di timur laut adalah utama, di tenggara adalah buruk karena negara akan hancur (gni rurub), di barat daya adalah baik karena raja akan dihormati (kweh bakti), dan di barat laut adalah baik karena raja akan bersifat sosial (dana). Dari dua sumber di atas maka dapat disimpulkan bahwa letak puri ditentukan dari pusat catuspatha, di timur laut dan di barat daya mutlak baik, di tenggara mutlak buruk, dan di barat laut ada baik dan ada buruknya (Sumber: I Gusti Made Putra, Catuspatha Konsep, Transpormasi, dan Perubahan, JURNAL PERMUKIMAN NATAH VOL. 3 NO. 2 AGUSTUS 2005 : 62 - 101)




Gambar .: 10.4
Makna sumbu dan alternatif tata letak pusat pemerintahan dalam catuspatha (Lontar Eka Pretamaning Brahmana Sakti Bujangga dan Batur Kelawasan) Gambar ini diadopsi dari I Gusti Made Putra, Catuspatha Konsep, Transpormasi, dan Perubahan, Jurnal Pemukiman
Natah Vol. 3 No. 2 Agustus 2005



Jika gambar diatas diproyeksikan ke posisi Jero Kajanan Dalung memberikan gambaran bahwa posisi jero berdasarkan sumbu catuspatha berada pada posisi yang kurang baik, yaitu disimbulkan dalam agni astra, yaitu “kobaran api” yang menyebabkan situasi konflik dan panas, suhu politik dan social meningkat, peperangan dan konflik internal juga lain sebagainya. Hanya dana menjadi unsur baiknya yaitu raja bersifat social kepada rakyatnya. Begitu pula dengan kedekatan hubungan pemimpin dengan rakyatnya. Dari posisi Jero Kajanan inilah I Gusti Nyoman Rai memutuskan perang Tibubeneng. Artinya perang Tibubeneng diputuskan ketika pusat pemerintahan berada di Jero Kajanan. Hubungan rakyat pada masa itu dengan penguasa sangat baik, dibuktikan dengan kesetiaan rakyat untuk ikut perang membela I Gusti Nyoman Rai. Perang pada waktu itu melibatkan banyak relawan. Penulis menduga adanya unsur kurang baik (agni) membuat pusat pemerintahan di Jero Kajanan Dalung kemudian pidah ke Jero Gede Dalung, untuk alasan ketenangan yang dilakukan setelah perang Tibubeneng.



Gambar:
Proyeksi posisi Jero Kajanan Dalung pada sumbu catuspatha berdasarkan lontar
Eka Pretamaning Brahmana Sakti Bujangga dan Batur Kelawasan

Perpindahan pusat pemerintahan dari Jero Kajanan di Banjar Kaja, ke Banjar Tegeh tidaklah berjalan lancar. Lokasi pertama berada agak ke selatan (sekarang Jeronya I Gusti Ngurah Sumarajaya) kemudian pindah agak ke Utara (Jero Gede sekarang). Perpindahan ini atas masukan dari Cokorde Puri Denpasar dan Pemecutan. Menjelang akan pindah ke Jero Gede yang baru (Jero Gede sekarang), salah satu anak dari I Gusti Gede Tegeh III bernama I Gusti Kompiang Payuk (perempuan), ibunya prami (padmi) dicarikan sentana bernama I Gusti Rai Keloting (masih satu kerabat keluarga besar keturunan I Gusti Gede Tibung yaitu satelit I Gusti Ketut Dauh). Status I Gusti Kompiang Payuk menjadi purusa dan I Gusti Rai Keloting adalah pradana.

Mereka tinggal di Jero Gede Saren Tengah, bersama ayahnya I Gusti Gede Tegeh III. Struktur Jero Gede dibagi menjadi tiga areal dan masing-masing ditempati oleh; I Gusti Gede Tegeh tinggal di Saren Tengah (bersama putri dan menantunya I Gusti Kompiang Payuk dan I Gusti Rai Keloting), Gusti Gede Dauh di Saren Kelod Sedangkan I Gusti Ketut Dauh di Saren Kangin Tetapi dalam proses sejarah salah satu putra I Gusti Ketut Dauh bernama I Gusti Putu Adi lebih memilih pindah tinggal ke arah Barat Jero Gede, membangun jero disana menghadap ke Selatan. Terdapat jaba tengah (sekarang rumahnya I Gusti Rai Bawa). Di depan Jero (jaba sisi) berdiri balai banjar yang diberi nama Banjar Lebak, dari Jero Banjar Lebak ada yang ke lebih ke Barat lagi sekarang disebut Banjar Cepaka I Gusti Putu Adi Setelah usia lanjut sering pergi ke Banjar Cepaka, lama kelamaan merasa senang disana sampai dengan akhir hayat hidupnya. Sehingga “diunggahin atau dilinggihkan” (distanakan) di Merajan Jero di Cepaka. Oleh sebab itu struktur arsitektur di Jero Cepaka menjadi berbeda dengan di Jero Banjar Lebak yaitu di Jero Cepaka terdapat Balai Gede. Sedangkan di Jero Banjar lebak hanya balai tiang sanga biasa. Hal tersebut dapat disaksikan sampai sekarang. Karena I Gusti Putu Adi melinggih di Jero Banjar Cepaka, maka merajan lingsir keturunan I Gusti Putu Adi ada di sana. Walaupun I Gusti Putu Adi pindah dari Jero Gede masih ada keturunan I Gusti Ketut Dauh yang tinggal di Banjar Tegeh, sebagian di Naplekan, serta di Utara dan Selatan Balai Banjar Tegeh, demikian juga di Jero Gede Saren Kangin masih tetap ada yang meneruskan. Diselatan balai Banjar Tegeh, meneruskan Jero Gede yang lama.

Ketiga putra I Gusti Gede Tibung bersama keturunannya dan rakyatnya pada lokasi yang baru tersebut juga membangun Merajan pemujuaan yang diberi nama Merajan Agung Meliling. Yang paling distanakan terdapat pelinggih pengayengan Ida Betara di Gunung Agung dalam bentuk Padmasana. Bangunan Suci ini biasanya berbentuk meru tumpang sebelas (seperti di Taman Ayun Mengwi) sebagai poisisi tertinggi seperti Gunung Agung yang merupakan posisi tertinggi di Bali, stananya Siwa. Bangunan ini biasanya hanya ada pada merajan orang yang memegang kekuasaan (raja) di wilayah local yang bersangkutan. Simbul Gunung Agung merupakan ekpresi dari pemegang posisi tertinggi disuatu wilayah tertentu. Petirtan di Pura Merajan Agung adalah Budha Wage Merakih Selain itu dibangun pula Pura Kahyangan Tiga yaitu Desa, Puseh, Dalem Gede masih dalam radius lingkungan Banjar Tegeh lokasi Jero Gede Dalung.

I Gusti Putu Adi yang pindah dari Jero Gede Saren Kangin, memilih posisi agak kebarat dari Jero Gede (sekarang banjar Lebak) atas pertimbangan lokasi memiliki daya tarik secara magis. Lokasi tersebut memiliki nilai positif berdasarkan format sumbu catuspatha. Dalam format gambar lihat gambar berikut.

Berdasarkan format sumber pustaka yang termuat dalam lontar Eka Pretamaning Brahmana Sakti Bujangga dan Batur Kelawasan, maka posisi Jero I Gusti Putu Adi, memiliki lokasi yang paling baik, terletak pada posisi utama. Ruang yang terbentuk oleh pertemuan atau perpaduan empat ruas pada lokasi Jero I Gusti Putu Adi di Br Lebak ini, juga dapat disebut dengan Pempatan Agung (raksa bhuwana). Pada lokasi tersebut sering digunakan ritual keagamaan oleh masyarakat Dalung terutama masyarakat dadian blumbang seperti upacara tawur (mecaru), menjemput bhatara (mendak siwi), nebusin, bahkan juga untuk melatih kedidjayaan termasuk pengiwa. Sehingga pempatan ini pada jaman dahulu terkenal kuat unsur magisnya. Pempatan ini dapat dikatagorikan sebagai pempatan agung. Karena mengandung unsur raksa bhuwana maka pada bagian ini juga diyakini berstana (melinggih) kekuatan alam yang dijabarkan dalam berbagai istilah seperti; Sanghyang Catur Bhuana (baca: Tutur Gong Besi), dan Sanghyang Adi Kala (baca: Tattwa Japakala), dan Sang Bhuta Prajapati (baca: Kanda Pat), semuanya merupakan wujud kekuatan ciptaan Siwa Mahakala.

Menurut berbagai sumber ada yang mengatakan Pempatan Agung juga terdapat di sebelah selatan Banjar Tegeh yaitu di sebelah barat setra atau Pura Dalem Gede di Dalung. Ke Utara menghubungkan ke Pura Desa dan Puseh, juga Paling ujung Pura Dalem Tegeh. Sedangkan ruas ke selatan menghubungkan ke Pura Dalem Tegal. Ruas ke Barat ke menghubungkan ke wilayah desa lain seperti Tibubeneng dan lain sebagainya. Sedangkan ke Timur menuju setra dan Pura Dalem Gede di Dalung. Sebagian besar arah jalan yang berdasarkan konsep pempatan di Dalung berakhir pada Pura. Dan hanya sebagian kecil arahnya menghubungkan pusat kehidupan desa lain atau kerajaan lain. Ini menunjukan bahwa Desa Dalung secara social dan struktur fisiknya mencitrakan wilayah yang memproteksi diri dari hal-hal luar. Latar belakang terjadinya berbagai perang, pengalaman hidup sebagai pelarian dari Padangluah, dan hal-hal negative seperti bahaya penyakit menular (yang biasanya terjadi setelah perang) intimidasi dari kekuatan luar membentuk watak atau karakter yang unik dan selalu mencurigai pendatang. Sehingga memilih sebagai wilayah yang berotonomi sendiri.

Dengan demikian, setelah perang Tibubeneng keturunan dari I Gusti Gede Tegeh III di Dalung lebih banyak diwarnai aktivitasnya tentang pencarian posisi Jero sebagai pusat pemerintahan. Tetapi walaupun akhirnya mereka memperoleh tempat posisi yang baik yaitu di utama mandala (sekarang di Banjar Lebak), tetapi mereka tidak semuanya pindah kesana. Hanya I Gusti Putu Adi bersama dengan keluarganya memilih tinggal di posisi tersebut. (untuk lebih lengkapnya silahkan baca: I Gst Ngr Agung Eka Teja Kusuma, Dari Padangluah ke Dalung, edisi revisi, tebal 400 halaman lengkap dengan pembuktian sejarah dan photo-photo)

Sumber: I Gusti Ngr Agung Eka Teja Kusuma, Dari Padangluah ke Dalung, Edisi Revisi.

Sejarah Berdirinya Dalung

Awalnya wilayah yang menjadi Desa Dalung sekarang ini merupakan sebagian semak-semak dan tegalan, dan juga terdiri dari tanah persawahan yang subur. Sebelah timurnya sebuah wilayah Desa yang disebut dengan Padangluah, sekarang dikenal dengan Padangluih. Jaraknya hanya dibatasi dengan sungai yang dikenal dengan Sungai Yeh Poh yang mengalir ke Laut selatan Bali.
Sebenarnya cikal bakalnya berdirinya Desa Dalung sangat erat hubungannya dengan Desa Padangluah yang merupakan kerajaan Meliling, karena awalnya diperintah oleh I Gusti Gede Meliling, yang merupakan putra ke empat dari Raja Ke III Mengwi yaitu I Gusti Agung Nyoman Alangkajeng.
Pada masa Pemerintahan I Gusti Gede Meliling yang berpusat di Padangluah, keadaan digambarkan dengan situasi yang sangat stabil baik secara ekonomi maupun secara sosial politik. Tidak ada terdapat cacatan sejarah yang menyatakan terjadinya pergolakan pada masa tersebut. Tetapi keadaan menjadi lain ketika Beliau wafat. Rupanya jaman berubah menjadi kaliyuga, putra-putra Meliling sudah saling berstrategi, dan terasa sudah tidak rukun dan bersatu kembali. Hal ini tidak terlepas dari adanya propokasi dari pihak kerajaan lain yang sangat berkepentingan terhadap wilayah tersebut, yang terkenal subur dan strategis.
Pergolakan demi pergolakan terjadi, termasuk adanya kekeringan akibat aliran irigasi yang disebabkan oleh jebolnya terowongan sehingga aliran air di Dam Gumasih tidak mampu ke wilayah Padangluah dan sekitarnya. Masyarakat mengalami kelaparan yang berat. Dampaknya konflik multi dimensi tidak dapat dihindarkan. Puncaknya ketika pada masa I Gusti Gede Tibung cucu dari I Gusti Gede Meliling, menjadi Yuwe Raja di Padangluah kebetulan pada waktu itu terjadi kegiatan upacara berkabung (ngaben) I Gusti Gede Tegeh I putra I Gusti Gede Meliling dan ayah dari I Gusti Gede Tibung. Perang saudara tidak dapat dihindari. Saudara tirinya I Gusti Gede Tegeh, yaitu I Gusti Gede Mangku dari Tibubeneng melakukan penyerangan terhadap Padangluah, yang menyebabkan Gugurnya I Gusti Gede Tibung di Kwanji.
Wafatnya I Gusti Gede Tibung meninggalkan empat putra laki-laki. Keempat putra beliau pergi ke Dauh Tukad Yeh Poh ( sebelah barat Sungai Yeh Poh, sekarang: Banjar Kaja) bersama anggota keluarganya masing-masing. Keempat putra beliau tersebut adalah I Gusti Gede Tegeh (III), I Gusti Nengah Tegeh, I Gusti Gede Dauh, dan I Gusti Ketut Dauh. Dari tempat ini mereka menghitung sisa-sisa keluarga dan rakyat yang masih ada. Mereka tidak mau jauh dari Padangluah, agar dapat memantau perkembangan Padangluah. Menyelamatkan rakyatnya yang masih di Padangluah yang memerlukan pertolongan. Ternyata tempat yang paling strategis adalah Dauh Tukad Yeh Poh tersebut (sekarang Banjar Kaja, Dalung). Akhirnya diputuskan tetap sementara tinggal disana sambil membangun strategi lebih lanjut. Perasaan sedih harus kehilangan rakyat, saudara, orangtua, kerabat, sahabat, dan wilayah. Keempat putra I Gusti Gede Tibung berusaha untuk meyakinkan diri dan memperkuat keyakinan tersebut untuk tidak patah semangat. Semasih tulang tidak patah kita jangan menyerah, dan harus mampu membangun diri, untuk rencana berikutnya. Dalam suasana seperti ini muncul istilah “jangan patah” yang berarti De Lung, kemudian kata-kata itu didengungkan dari mulut kemulut keseluruh masyarakat, untuk membangun mental dan semangat. Maka muncul istilah Dalung yang kemudian menjadi nama Desa yaitu Desa Dalung. Diperkirakan terjadi antara tahun 1823 - 1825.



Pada lokasi yang kemudian menjadi wilayah Banjar Kaja tersebut dibangun Pura Dalem Tibung yang merupakan “cahaya” Pura Dalem Tibung Kwanji. Untuk menghilangkan “getaran” rasa kawatir akibat suasana perang yang masih melekat, dari Pura tersebut walaupun masih sangat sederhana, mereka bersama rakyatnya sering memohon keselamatan. Rupanya cahaya yang terpancar di Pura Dalem Tibung, sesuai dengan suasana pada masa itu yaitu getaran jengah dan semangat untuk bangkit. Oleh sebab Pura Dalem Tibung di ekpresikan sebagai Pura untuk memohon kedigjayaan, wibawa, kekuasaan, dan pengaruh juga pemerintahan. Dari Pura tersebut diperoleh pencerahan, untuk membangun Desa dengan sengker empat pura, yang mengelilingi Desa Dalung. Dan yang paling pertama harus dipertimbangkan adalah pembangunan Pura Kayangan Tiga dan Tempat Pusat Pemerintahan (Jero Gede), yang harus ada dalam lingkaran sengker empat pura.


Pura Dalem Tibung, Br Kaja, Dalung


Pada proses sejarah beberapa tahun kemudian konsep Pusat Pemerintahan mulai diwujudkan I Gusti Gede Tegeh dan I Gusti Gede Dauh dan I Gusti Ketut Dauh mulai melihat lokasi lebih baik (sekarang di Banjar Tegeh Dalung) tempat itu sekarang dikenal dengan Jero Gede Sedangkan adiknya yang pemade I Gusti Nengah Tegeh kemudian pergi dan tinggal di Tegaljaya. I Gusti Ketut Dauh memiliki banyak anak, ada yang tinggal di Banjar Lebak, ada juga yang tinggal di Cepaka.

Sumber: I Gusti Ngr Agung Eka Teja Kusuma, Dari Padangluah ke Dalung, Edisi Revisi.

Istilah dalloenk mulai terkenal pada akhir tahun 1970-an. Pada waktu itu anak muda yang suka berkreasi sengaja membuat kata itu untuk sedikit memberikan aksi dan gaya tentang desanya yang bernama Dalung. Jadi dalloenk sebenarnya istilah nama Desa Dalung yang di Inggris-kan agar menjadi keren. Rupanya keatifitas ini mulai berkembang dan terimajinasi dari semaraknya kaset tape yang bermerek billboard. Secara design sangat kentara kelihatan. Pada waktu itu kaset pita tape merek billboard mulai tenar yang sebagian besar isinya rekamannya adalah lagu-lagu barat yang mulai digandrungi oleh anak-anak muda yang sekolah SMA di Denpasar. Musik barat sangat identik dengan billboard sehingga agar Dalung yang kesannya udik terkesan kebarat-baratan maka dibuatlah Dalung menjadi dalloenk.

Istilah dalloenk menjadi terkenal sampai sekarang, dan kerap dipakai pada sablon baju kaos para pemuda dari desa Dalung. Secara komunal mereka mencetaknya. Ini berarti keterbukaan tentang penerimaan pedaraban baru dari dunia luar Dalung bahkan dari luar negeri, sudah mulai terjadi. Pada awal tahun 1979-an istilah globalisasi masih sangat langka bahkan sangat tidak terdengar. Tetapi penerapan dalam memakai nama dengan mengadopsi gaya billboard dalam bentuk dalloenk sudah menunjukan atau mengekpresikan adanya keterbukaan.

Kalau kita putar ke masa lalu pada sejarah Dalung, masyarakat Dalung merupakan masyarakat yang agak tertutup dari campur tangan asing. Maklum mereka (masyarakat Dalung) terutama kaum elite dinastynya sangat mencurigaai adanya intervensi kekuasaan asing. Pergolakan sejarah memang mewarnai sejarah Dalung sehingga membentuk karakter masyarakat seperti itu. Dalung bukanlah suatu desa yang memiliki keistimewaan dibandingkan dengans sebagian besar desa lainnya di Bali. Seperti Kuta yang memiliki pantai yang terkenal, tanah lot dengan obyek wisata Pura Tanah Lot, Ubud dengan obyek budaya dan panorama alam desa. Tetapi keunikannya adalah akibat dari proses benturan sejarah. Sehingga secara fisik luar tidak akan mampu mengungkap keistimeaan dan keunikan yang menarik. Tetapi jika dikaji secara mendalam maka semua obyek berupa pura sangat memiliki arti sejarah yang sangat memberikan cahaya terhadap terbentuknya Desa Dalung.

Itu semua tidak terlepas dari para pelaku-pelaku sejarah tentang berdirinya Desa Dalung, yang tergolong dalam elite dinasty-nya.

Untuk sementara saya coba untuk mengawali blog ini dengan sedikit memberikan arti mengapa blog ini memakai istilah dalloenk. Mungkin untuk berikutnya saya akan mencoba untuk menulis tentang sejarah Dalung. Dan saya sangat senang jika blog ini memberikan signyal umpan balik dari yang mau mencoba untuk memahami arti sebuah sejarah dan perkembangan peradaban, dan kita coba mulai dengan yang terkecil dari lingkungan Desa kita.