Minggu, 19 Juli 2009

ANTARA MENGWI DAN BADUNG

Nama Saya Agung Teja. Saya lahir di Dalung 11 Juni 1967. Sebuah Desa yang kira-kira menurut perkiraan saya berdiri awal abad 18-an. Desa saya masih tergolong muda dibandingkan dengan Desa-Desa tetangganya, di Utaranya Desa Abianbase kecamatan Mengwi, Barat Desa Buduk Kecamatan Mengwi, Selatannya adalah Desa Tibubeneng kecamatan Kuta Utara, dan Sebelah timurnya adalah Desa Padangluih (dulu dikenal dengan Padangluah) kecamatan Kuta.



Diadopsi Dari : Sumber diadopsi dari Henk Schulte Nordholt: 2006:




Dilihat dari posisi geografis tersebut Dalung merupakan perbatasan antara Kecamatan Mengwi dan Kuta tetapi semuanya masih dalam satu Kabupaten Badung, Bali. Dari posisi letak geografisnya sebenarnya Dalung lebih cocok masuk Kecamatan Mengwi, logikanyanya adalah, jaman dahulu sungai adalah batas suatu wilayah. Kebetulan Dalung berada di wilayah sebelah Barat Sungai Yeh Poh. secara geografis Sedauh Tukad Yeh Poh sebenarnya wilayah Mengwi. Akibat adanya perang Tibubeneng yang menyebabkan hancurnya Tibubeneng, menyebabkan menjadi wilayah yang terpisah dengan Mengwi. Perang Tibubeneng sebenarnya perseteruan keluarga antara I Gusti Nyoman Rai dari Dalung dengan I Gusti Gede Mangku dari Tibubeneng. Dalung dibantu oleh Badung dan Kerobokan, dan Padangluah. Akhirnya Tibubeneng hancur, perang dimenangkan oleh I Gusti Nyoman Rai dari Dalung. Akibatnya wilayah yang menjadi kekuasaannya I Gusti Gede Mangku banyak dibawah kendali Badung. Semenjak itu komunikasi lebih banyak ke Badung. Dan bahkan beberapa orang Badung mulai tinggal di Tibubeneng. Sampai sekarang wilayah yang dulunya dipegang oleh I Gusti Gede Mangku sebagai penguasa Tibubeneng sebelumnya secara komunikasi menjadi kurang lancar ke Mengwi, dampaknya ketika jaman Republik bentuk akses komunikasi ini menyebabkan wilayah ini lebih cenderung masuk ke wilayah kec. Kuta.


Gambar diadopsi dari Henk Schulte Nordholt: 2006:


Sebelum Mengwi hancur (1891), wilayah Mengwi cukup luas. Untuk batas selatan Bahkan sampai Uluwatu. tetapi akibat pernikahan I Gusti Ayu Bongan ke Badung, menyebabkan Sedauh Tukad Mati menjadi milik Badung. Ini termasuk sebagian wilayah I Gusti Gede Meliling, termasuk Padangluah. Setelah I Gusti Gede Meliling wafat, perkembangan politik di wilayah kekuasaannya menjadi berubah. Konflik kepentingan antara putra-putra meliling semakin besar. Wilayah ini menjadi terpecah-pecah antara kubu I Gusti Gede Mangku (dominan komunikasi kie Mengwi) dengan I Gusti Nyoman Rai dari Dalung lebih dominan komunikasi ke Badung. Komunikasi ini menjadi lebih kuat ketika Perang Tibubeneng terjadi. Hal inilah membuat bentuk wilayah kecamatan seperti sekarang ini.
Ini hampir mirip dengan kondisi Turki, yang ditulis oleh Samuel P. Huntington dalam karyanya The Clash of Civilization and The Remaking of World Order, tahun 1996. Sebenarnya secara geografis Turki masuk Eropa, tetapi kenyataannya bukan Eropa, sehingga tidak masuk Masyarakat Ekonomi Eropa. Mengapa? karena proses komunikasi yang menyebkan memiliki Budaya yang berbeda dengan Eropa. Turki lebih cenderung ke kebudayaan Timur (Asia) dan sebagian besar Muslim. Sedangakn Eropa lebih kenal dengan Kebudayaan Barat. Semuanya itu tidak terlepas dari proses sejarah waktu terjadinya Perang.
Sebuah kelompok didasarlan antas persamaan kepentingan bisa menyebabkan dasar terbentuknya konglomerasi kekuatan politik. Akhirnya jika ini bertahan lama, dan penemuan kekcocokan dalam pemecahan masalah untuk keluar dari konflik, dapat membentuk terbentuknya sebuah kekuatan yang mengarah pada sebuah negara atau kerajaan.
Dalung memiliki kepentingan dalam pengembalian wilayah Padangluah yang sempat jatuh ke tangan Tibubeneng. Konflik kepentingan ini akhirnya mengundang campur tangan Badung karena I Gusti Nyoman Rai memerlukan bantuan untuk menggempur Tibubeneng. Badung menyanggupi karena juga memiliki kepentingan untuk memperkuat pertahanan perbataasan Badung terhadap Mengwi, dan memperkuat komonikasi dengan Dalung. Kerja sama ini akhirnya berhasil terwujud melalui kesuksesan dalam menghancurkan Tibubeneng. Putra-putra Tibubeneng akhirnya menyingkir ke Barat ke sebuah Desa yaitu Pererenan, masuk ke wilayah Mengwi. Mengwi yang memiliki komunikasi yang baik dengan Tibubeneng berusaha melindunginya, dengan cara mengirim utusan untuk menyelamatkan putra-putra Tibubeneng ke sebuah tempat yang sekarang bernama Tiying Tutul, kemudian dari tempat itu ke Desa Pererenan.
Pasca Kemenangan Dalung dalam perang di Tibubeneng menyebabkan secara komunikasi Dalung berdiri secara otonomi sendiri. Secara keukuasaan tidak di Bawah Badung, juga tidak jelas hubungannya hirarki secara komunikasi dengan Mengwi. Karena sangat memahami dan mengerti di hubungan putra-putra Tibubeneng setelah di Pererenan, semakin erat ke Puri Mengwi. Sehingga Dalung lebih memilih untuk mengatur dirinya sendiri. Hal ini sangat jelas ketika Mengwi hancur 1891, Dalung tidak memiliki peran yang jelas dalam mempertahankan kedaulatan Mengwi. Bahkan orang-orang Dalung justru memperoleh manfaat berupa migrasi penduduk besar-besaran masuk ke wilayah Mengwi seperti Abianbase, Desa Kapal, Buduk, dan Ulonomo. Sedangkan sebaliknya penduduk asli wilayah setempat desa-desa tersebut justru pergi lari ke luar Mengwi untuk menyelamatkan diri. Salah satunya penduduk asli Desa Kapal mengungsi ke Ubud. Begitu pula terhadap gelar yang mereka miliki. Penguasa di Dalung yang rata-rata adalah keturunan I Gusti Gede Tibung, tidak mengalami kondisi nyineb wangsa karena tidak tunduk pada kerajaan manapun. Mereka berdiri sendiri secara otonomi. Desa Dalung bukan pemberian kerajaan lain, tetapi mereka bangun sendiri, yang merupakan perpindahan dari Padangluah. Sehingga hari tegak petirtan Pura Desa di Dalung sama dengan di Pura Desa di Padangluah yaitu; Macekan Agung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar