Rabu, 26 Agustus 2009

"KLAIM" MALAYSIA UNTUK TARI PENDET DAN NASIONALISME


Sebuah tulisan seorang sastrawan kita Romo Magun Wijaya, dalam bukunya Esei-Esei Orang Republik, selalu mengingatkan saya ketika menjelang tanggal 17 Agustus. Ada ekpresi sindiran kepada mereka yang suka tidak puas dengan semangat generasi muda kita. Bahkan secara keseluruhan rasanya nasionalisme menjadi perlu dipertanyakan. Dengan menggunakan ilustrasinya yang khas menyampaikan, pejuang dari generasi 45 yang terkenal keras dan pemberani, tidak gentar terhadap moncong meriam Belanda, Jeratan Kempetai Jepang, bisa menangis dan terharu ketika hanya melihat sebuah kain berwarna merah putih, pelan-pelan naik dikerek pada sebuah tiang bambu, diiringi dengan lagu Indonesia Raya. Tetapi pemandangan itu sangat sulit kita temukan pada kondisi yang berbeda dengan sekarang, anak-nanak di sekolah penuh dengan senda gurau, santai, ketika harus melakukan apel bendera. Kurang nasionalis, patriotis. Itu sama sekali bukan. Tetapi nisbi penghayatan mereka sudah berbeda terhadap nilai-nilai proklamasi. Kira-kira demikian isi tulisannya secara garis besarnya. Saya sependapat. Generasi muda sekarang lebih banyak dihadapkan dengan situasi kekinian ketika jaman Gitar Elektrik mulai nyaring yang tantangannya sangat jauh berbeda dengan generasi Angklung Bambo. Intonasi mungkin sama, teknik memainkannya sudah jauh berbeda.

Rasanya bukan sebuah kebetulan ketika nuansa atsmosper prorklamasi 17 Agustus baru beberapa hari kita kumandangkan, dalam apel resmi dari istana negara, sampai tingkat kecamatan, dan pelesok-pelosok Desa se Indonesia. Rasanya masih banyak kendaraan memberikan atribut bendera merah putih di jalan raya. Bahkan masih ada pedagang asongan menjanjakan beberapa supenir hiasan yang beraroma 17 Agustus tersebut. Pada saat seperti ini, Rupanya nasionalsime dan patriotisme kita sedang diuji. Hari sabtu detik.com menayangkan berita Tari Tenun Bali di kalim Malaysia. Lewat promosi pariwisatanya, Malaysia menggunakan tari tersebut seolah-olah tarian tersebut adalah milik mereka. Sepontan reaksi keras terjadi dari berbagai kalangan baik seniman, dan para politisi.


Reaksi jeles. Tentu saja. Gemana tidak ketika kita akan menyongsong 17 agustus untuk memperingati detik-detik proklamasi, ternyata sebaliknya Si Nurdin M Top warga Malyasia itu mempersiapkan bom bahkan sasarannya adalah istana Negara saat 17 Agustus. Untungnya digagalkan. Di face Book banyak dipergunjingkan, Nurdin M Top dan Azari datang dari Malaysia melakukan ulah dengan bom sasarannya orang asing. Bahkan di itu lakukan juga di Bali. Spontan kondisi wisata Bali menjadi sempat sepi. Sebaliknya Negaranya Si Nurdin M Top menggunakan atribut kebudayaan Indonesia (Bali) dan “mengklaimnya” untuk mengundang orang asing ke Negaranya Malaysia untuk berwisata. Maunya apa ini?

Reaksi lainnya; dari Politisi Taufiq Kiemas (Radar Bali, Senen 24 Agustus 2009) mengharapkan ada demo besar-besar ke kedutaan Malaysia di Jakarta. Reaksi lainnya dari organisasi kesenian Lampung marah, dan mengharapkan agar pemerintah menyikapinya.

Seniman Seperti I Gusti Ketut Sukahati dari Dalung, berpendapat, walaupun hanya sebuah tarian ini asset yang tiada nilai. Kita harus pertahankan jangan sampai menjadi hak milik bangsa lain. Tarianpun bukan hanya karya seni biasa yang bukan hanya sekedar untuk menghibur tetapi lebih daris ekedar itu bias bermakna sebagai upaya untuk mewujudkan bhakti terhadap Negara. Untuk ini saya pernah memilki pemngalaman, bagaimana dengan tarian saya ikut memberikan dorongan semangat ke beberapa daerah terpencil di Nusantara. Pada tahun 1954 pernah mewakili SGB sebagai penari putri Singaraja keliling Nusa Tenggara bersama Gubernur Sarimin, bertugas ke daerah-daerah waktu itu sebagai Gubernur Sunda Kecil. Bagaimana caranya agar persatuan NKRI ini dapat terwujud. Kemudian manari Ke Sumatra kira-kira tahun 1957-1959 bersama penabuh dari Gong Kusuma dari Banjar Tatag Sibang Gede. untuk memberikan dorongan semangat pada para pejuang dan Tentara Republik Indonesia yang bertugas memberantas gerombolan (kalau tidak salah gerombolan PRRI). Di Sawalunto Sumatera Barat para penari di serang dan ditembakin oleh gerombolan pemberontak . Semua rombongan akhirnya tiarap di parit-parit. Syukur semuanya selamat. Kemudian awal tahun 1960 menciptakan senam tari untuk memudahkan pengajaran tari Bali untuk anak-anak SD. Metode ini ternyata efektif. Dasarnya karena waktu itu gambelan masih langka untuk di tingkat sekolah dan sulit memperoleh alat elektronik seperti tape recorder. Tari Pendet sangat berjasa untuk meletakkan pondasi pada siswa anak-anak, sebelum belajar tari Bali lainnya. Kata Ibu yang telah berumur 70 tahun ini yang secara langsung pernah diasuh oleh Ibu Reneng dan Bapak Rindi. Kemudian Ibu Sukahati ini menciptakan metode senam untuk mempermudah belajar Tari Pendet. Karena tari ini untuk dasar sehingga mudah ditangkap anak-anak.


I Gusti Ayu Ketut Sukahati, Seniman Tari Bali. Umur 70 tahun. Specialis Tari Condong Klasik


Ternyata proses tari Pendet tidak sederhana. Wajar muncul reaksi atas sikap Malaysia tersebut. Kemungkinan besar berbagai komponen juga akan turun. Ini sebuah perkembangan yang menarik. Bukan bagaimana bentuk protesnya, tetapi makna dibalik kejadian ini. Yaitu Nasiolisme dan Patriotisme. Kita masih satu.

Tulisan ini termuat dari facebook untuk reaksi terhadap Malaysia


Tidak ada komentar:

Posting Komentar